Apa Anda mulai terganggu ketika terselip konten bermuatan provokatif untuk promosi galang kekuatan politik partai, atau caleg di laman Facebook? Apakah sesegera itu, Anda hide, block atau malah terpancing ikut berkomentar?
Lalu, untuk pengguna Twitter, ketika cuitan terkait pemilu muncul, terkini ada temuan tentang bagaimana cara mengelak dari klarifikasi kasus adalah dengan tag akun bot provider, instansi dll. secara berbayar dibanding kontra pendapat seperti yang dilakukan buzzer semasa pilpres lima dan sepuluh tahun lalu.
Fakta itu seperti mengingatkan pemilik akun media sosial perlu segera bersiap untuk bombardir konten yang mampu mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat semasa proses kampanye.
Agus Mulyadi pemilik @agusmagelangan memiliki pendapat sendiri tentang hal ini. Dia memaparkan fakta betapa konten receh malah perlu dimunculkan menjelang 2024.
“Biarkan aja buzzer dan akun bot itu. Biarkan juga yang inspiratif ranahnya Najwa Shihab. Yang dakwah ranahnya Quraish Shihab. Kita ambil yang receh-receh saja.”
Ujaran itu dicetuskannya saat memenuhi undangan pelatihan Training of Trainers – Media Sosial sebagai Ruang Dialog bertema Cerdas Bersuara : Pikiran Merdeka Jari Beretika, yang diselenggarakan Srikandi Lintas Iman dan Madrasah Damai, tanggal 15 Juni 2023.
Pelatihan yang menjawab keresahan para pencetus acara Wiwin Siti Aminah Rohmawati dari Srikandi Lintas Iman, Kamilia Hamidah dari Madrasah Damai, serta Zon Vanel sebagai dosen terkait media sosial, komunikasi dan teknologi; tentang pengguna media sosial di Indonesia dan konten-konten yang punya peluang memprovokasi.
Data Reportal on Digital Indonesia 2023 menempatkan Indonesia sebagai pengguna internet terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk sekitar 277,7 juta jiwa dengan total pengguna internet aktif sebesar 212,9 juta, penetrasi internet mencapai 77,0 persen. Indonesia juga rumah bagi 167,0 juta pengguna media sosial setara dengan 60,4 persen dari total populasi. Total 352,8 juta koneksi seluler aktif di Indonesia, angka ini setara dengan 128,0 persen dari total populasi.
Agus sendiri, yang pernah suatu masa sering diundang acara Bawaslu, sehingga punya keinginan mengganti nama menjadi Agus Bawaslu, dibanding Agus Mulyadi yang menurutnya terlalu pasaran; mengakui kerap diminta membawakan materi terkait perilaku netizen pada pesta demokrasi ini.
Suami Kalis Mardiasih itu memulai dengan pernyataannya tentang tak segan mengakui besar dari Facebook. Dia berbagi bagaimana platform itu, yang dibilang anak Gen Z nggak kekinian dibanding Instagram, Twitter maupun TikTok, faktanya masih terus awet dan bertahan sampai sekarang. Selain menjadi riuh ketika masa kampanye, aplikasi Facebook juga banyak memberi keuntungan kepada ibuk-ibuk penjual online.
“Kedua teman saya yang sukses jualan di Facebook itu hanya ibuk-ibuk yang bercerita tentang kesehariannya, bukan yang belajar khusus digital marketing. Tapi, orang percaya. Karena orang sering baca cerita sehari-hari mereka, ketika ditawarkan jadi lebih mudah tertarik dan akhirnya mau mencoba atau membeli.”
Lelaki yang pernah menjadi penjaga warnet, lalu tukang edit foto sampai diundang acara Bukan Empat Mata sebagai pakar telematika, sejajar dengan Roy Suryo ini, mengajak peserta pelatihan untuk tidak meremehkan dan mulai mempertimbangkan memunculkan konten receh khas Indonesia. Dia membandingkan konten Nex Carlos, dengan konten anak kecil sedang makan baso atau cilok.
“Konten Nex Carlos itu ‘kan, penonton lihat mulutnya mengunyah aja, jadi kepingin ikut makan dan berpikir memesan, membeli atau mengunjungi. Eh ternyata konten merekam anak kecil makan pun punya kekuatan yang sama.”
Mantan Redaksi Mojok ini juga mengemukakan teori Domino’s Effect tentang hal kecil yang berdampak besar.
“Nggak apa-apa konten jelek, konten receh. Juga nggak perlu setting, teknis atau alat yang hebat. Ada aja tetap penontonnya.”
Contoh netizen yang buat konten mancing di kali, konten diam selama dua jam, konten menyanyi atau berjoget ala kadarnya ternyata viewer-nya bersaing dengan konten yang digarap serius.
Ketika ditanyakan, mengapa demikian? Agus mencontohkan ibu-ibu yang putus asa menyuapi anaknya, akan membiarkan sebuah lagu diputar atau di-view berulang kali agar anak itu mau makan. “Itu baru satu ibu-ibu.” Netizen model ibu-ibu semacam itu tanpa disadari ternyata membuat membesarnya view konten tersebut.
Di ujung sesi, Agus mendorong peserta pelatihan untuk tak perlu khawatir belum punya alat bagus, meski kalau nanti mampu membeli dan menggunakannya seperti memiliki alat teleprompter, yang akan membuat podcast makin oke, tentu kelak menjadi investasi jangka panjang.
Tipsnya untuk penyanding konten-konten panas tahun politik, “Netizen perlu dihibur, nggak tegang terus. Jadi, buat deh bagaimana yang menyentuh keseharian, sisi kemanusiaan, yang nggak bikin netizen perlu pikir yang berat-berat. Lihat aja efeknya, sampai netizen bilang eh kok ini relate sama aku, lalu di-share, di-retweet dan di-repost. Sepele, receh tapi berdampak, itu kelak malah bersaing dengan para buzzer.”