Solidaritas Masyarakat di Masa Pandemi COVID-19

Photo by Camille Bismonte on Unsplash

Retno Wahyuningtyas

Pada akhir tahun 2019, dunia dilanda kegegeran dengan ditemukannya kasus pneumonia jenis baru yang dikenal sebagai virus Covid-19 atau familiar dengan sebutan virus corona. Pada saat itu, penyebaran virus secara luar biasa dialami oleh masyarakat di kota Wuhan, Tiongkok. Menurut World Health Organization, virus corona merupakan salah satu sindrom dengan gejala gangguan pernapasan akut berat atau dikenal dengan SARS. Berbeda dengan SARS, pneumonia ini disebabkan oleh transformasi virus yang lebih berbahaya yang dapat menyebarkan penyakit pada manusia dan hewan. Oleh para ahli, penyakit ini dikenali sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), sehingga menyebabkan Coronavirus Disease-2019 (COVID-19).

Perbedaan lainnya antara SARS dan virus corona adalah terletak pada jenis virus, potensi migrasi virus, dan respons dalam melakukan penanganan. Pada tahun 2003, organisasi kesehatan dunia mencatat bahwa terdapat 8.098 orang dari seluruh dunia yang terinfeksi virus SARS dan sebanyak 774 orang di antaranya meninggal dunia. Sementara itu, data organisasi kesehatan dunia pada tanggal 05 Agustus 2020 melaporkan bahwa jumlah pasien terinfeksi virus corona di dunia berjumlah 18.697.915 kasus terdiri dari 704.232 orang meninggal dunia dan 11.913.908 pasien yang dinyatakan telah sembuh. Bila dibandingkan, dapat dipastikan bahwa persentase kematian dan wilayah persebaran akibat SARS hanya sebesar 9,6 persen dengan tingkat persebaran virus yang cenderung mampu diantisipasi. Dengan jumlah pasien terinfeksi yang sangar besar, dapat diketahui bahwa virus corona menyerang jauh lebih cepat, memiliki ciri penyakit-destruktif sehingga rentan menyebabkan kematian, serta tingkat penyebarannya secara aktif ke lebih dari 25 negara di dunia. Pada saat artikel ini ditulis, Indonesia masih berada di urutan negara ke-23 dengan jumlah kasus 118.753 terdiri dari 31 persen dari jumlah yang terkonfirmasi atau 37.587 orang berada dalam perawatan, sedangkan sebanyak 4,6 persen atau 5.521 orang dinyatakan meninggal dunia dengan riwayat terinfeksi virus corona.

Pada hakikatnya, wabah pandemi covid-19 ini merupakan gejala pneumonia akut. Seseorang yang terinfeksi virus corona akan mengalami tanda-tanda seperti peningkatan suhu tubuh mulai dari 38 derajat celcius, batuk kering, dan sesak napas secara akut. Semua gejala ini dapat diamati secara intens dalam 14 hari. Berdasarkan analisis para ahli kesehatan menunjukkan bahwa penularan virus terjadi akibat sentuhan fisik, menyentuh objek yang terpapar virus corona, percikan air atau flu (droplet) yang keluar ketika orang lain bersin, hingga yang paling ekstrem virus corona dapat menyebar melalui sirkulasi udara. Namun, mereka yang melakukan perjalanan jarak jauh dan menemui banyak orang sangat berpotensi menjadi pembawa virus. Uniknya, dengan ukurannya yang sangat kecil sekaligus membahayakan, virus corona mampu bertahan pada pelbagai medium dalam jangka waktu yang lama, sehingga memungkinkan setiap orang terpapar dan terinfeksi virus melalui arah mana saja.

Di tengah kehadiran virus corona, pelbagai spekulasi dan dampak muncul secara bersamaan. virus corona tidak hanya menjadi momok yang dianggap akan menyerang tubuh biologis manusia. Sejak awal kehadirannya, virus corona turut mentransmisikan rasa takut dan kebingungan pada negara dan warga dunia lainnya yang belum dilanda wabah ini. Melalui diseminasi informasi yang terdapat pada media sosial, tiap negara seolah bersiap menentukan strategi menghadapi “lawan yang tak terlihat” yang bernama virus corona. Salah satu negara yang turut kebingungan dalam menghadapi virus corona adalah Indonesia. Serupa dengan negara lain yang belum memiliki prosedur penanganan pandemi, di awal kehadiran pandemi di Indonesia pemerintah menunjukkan sikap denial kepada masyarakat terutama ketika adanya kasus pasien pertama yang terinfeksi virus corona pada awal Maret 2020 lalu. Inkonsistensi sikap itu terbukti pada minimnya persiapan untuk penanganan pasien yang terinfeksi virus corona. Dengan mengadopsi kebijakan darurat di negara lain, Indonesia turut menetapkan protokol kesehatan dasar seperti cuci tangan pakai sabun, menjaga higienitas diri, dan imunitas tubuh. Secara struktural, pemerintah Indonesia juga menerapkan kebijakan lockdown.

Penetapan kebijakan lockdown dinilai paling efektif untuk memutus rantai penyebaran virus corona di tingkat akar rumput. Uji coba impelementasi kebijakan lockdown dimulai dari ibukota Jakarta, pada Maret 2020 lalu. Penetapan pelbagai zona mulai dari zona merah, zona hitam, hingga zona hijau dinilai sebagai upaya mengenal tingkat kedaruratan kasus suspected virus corona di suatu daerah. Upaya lockdown diartikan sebagai langkah mengkarantina wilayah dari segala rutinitas fisik, meminimalisasi pertemuan, persentuhan, hingga transmisi virus dalam jumlah yang lebih besar. Di satu sisi, penerapan lockdown dianggap berhasil, tetapi di sisi lain, aspek ini sangat dirasakan oleh masyarakat yang berada di tingkat ekonomi menengah dan tingkat ekonomi tidak mampu. Syahdan, aktivitas ekonomi yang selama ini terjadi secara intens yang memberikan pendapatan bagi masyarakat, turut terhenti. Kelumpuhan ekonomi ini dirasakan oleh masyarakat yang bekerja di sektor formal dan informal, di desa maupun di kota, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun manusia lanjut usia. Dalam definisi Ulrich Beck (1992), kondisi demikian digambarkan sebagai kondisi ketidakpastian, sehingga masyarakat dapat melihat risiko secara lebih terang-benderang, yakni jurang kelumpuhan ekonomi yang sewaktu-waktu siap meruntuhkan posisi masyarakat sipil. Duka internasioal ini juga turut dirasakan oleh bangsa Indonesia, tetapi sayangnya, dengan adanya pandemi COVID-19, masyarakat dan pemerintah sama-sama “bercermin” untuk menyadari kekacauan kondisi internal. Akhirnya, kita sama-sama mengetahui bahwa kita tidak cukup siap dalam menghadapi penyebaran virus corona. Akibatnya, di tengah gelombang ketakutan, kita semakin panik karena kondisi ekonomi dunia yang secara perlahan mengalami penurunan. Di negara maju, pandemi menjadi salah satu alasan untuk melakukan pemutusan kerja secara besar-besar demi menyelamatkan kondisi ekonomi perusahaaan. Situasi ini juga dapat dilihat di Indonesia, di mana wilayah-wilayah yang menjadi sentra industri mulai dari tingkat mikro dan makro. Untuk pertama kalinya, dalam waktu yang dikategorikan sebagai zaman kemutakhiran modern, semua kebisingan, rutinitas tidak henti mulai dari tingkat mikro dan makro dihentikan secara serentak. Semua orang menjadi “patuh” untuk tidak melakukan perjalanan dekat ataupun jauh, sekolah diliburkan, bandara ditutup, aktivitas perjalanan jalur kereta dihentikan, semua jalur perbatasan dijaga oleh para penjaga keamanan. Semua diminta untuk “beristirahat” dan melakukannya dari rumah, sehingga beramai-ramai semua orang menyebut ini dengan work from home. Menurut Prof. DR. Sri Adiningsih, guru besar fakultas ekonomi UGM, banyak ahli ekonomi yang memprediksi bahwa terjadi instabilitas ekonomi makro meningkat, produksi barang dan jasa merosot, perdagangan internasional menurun, harga komoditas anjlok, utang negara meningkat, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi, meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan. Akibatnya, ketidakpastian ini turut mendorong masyarakat secara spontan untuk menyelamatkan kondisi masing-masing agar tidak “mati” karena keterpurukan bisnis dan kondisi ekonomi. Secara sosial, situasi ini dapat menimbulkan pelbagai gangguan dan ketimpangan sosial di masyarakat sipil.

Transformasi Dunia di Era Disrupsi pada Masa Pandemi

Menurut Prof. DR Sri Adiningsih, pandemi mengubah banyak tatanan kehidupan salah satunya adalah perubahan gaya hidup keseharian masyarakat seperti lebih banyak berada di rumah, menerapkan protokol kesehatan minimal melakukan cuci tangan lebih sering, jaga jarak dan membatasi kontak fisik (social distancing), menggunakan masker, jarang belanja secara konvensional dan lebih banyak belanja online, bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, mengurangi perjalanan dan penggunaan kendaraan umum, lebih sedikit menggunakan uang tunai (cashless), dan memusatkan aktivitas di rumah. Namun, ketika masyarakat telah beradaptasi dengan kehadiran pandemi di Indonesia, dengan kekhasan kultural masyarakat Indonesia yang bersikap “see good things in every situation” sehingga tetap optimis dalam menghadapi pandemi. Didukung dengan transformasi era di mana kita berpijak dalam kepingan zaman di mana teknologi adalah aspek penting kehidupan, ahli ekonomi dunia, Rhenald Kasali mengidentifikasikan kondisi ini sebagai era disrupsi. Masyarakat sangat familiar dengan penggunaan gawai, internet, dan segala sesuatu terhubung secara daring. Salah satu karakteristik kultural masyarakat Indonesia adalah interaksi langsung, sehingga ketika masa pandemi ini hadir dan kebijakan lockdown telah diberlakukan membuat sebagian besar masyarakat tidak betah, terutama masyarakat akar rumput dan mereka yang tinggal di perdesaan.

Saat kebijakan lockdown telah diberlakukan, masyarakat perkotaan lebih piawai dan familiar dalam menggunakan gawai dan layanan internet. Pada daerah-daerah sentral seperti Jawa, tidak ada hambatan spasial dan geografis seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, ataupun wilayah lainnya di Indonesia yang masih dikepung oleh rimba. Syahdan, semua hal dilakukan secara online diberlakukan bagi masyarakat perkotaan dan perdesaan. Hal ini turut “memaksa” semua kalangan untuk beradaptasi secara singkat dan cepat untuk mampu mengoperasikan gawai, mengenali internet, dan dilakukan tidak hanya oleh kalangan usia dewasa, tetapi juga anak-anak hingga para manusia lanjut usia. Distribusi pengetahuan dilakukan secara daring, semua orang mengoperasikan teknologi digital memudahkan pertemuan orang dari pelbagai wilayah untuk terhubung dalam medium platform media sosial.

Pelbagai kekacauan akibat virus corona terjadi dalam skala global, tetapi dalam konteks Indonesia, masa penyesuaian ini justru semakin diperkuat dengan sikap dasar masyarakat Indonesia yang masih semangat melakukan upaya gotong royong. Teknologi menjadi kran pembuka bagi masyarakat untuk mengenal melek teknologi, namun ini juga menjadi medium untuk saling berinteraksi pengganti tatap muka langsung yang sedang dibatasi di masa lockdown. Secara ekonomis, pertemuan daring ini meningkatkan biaya pembelian pulsa atau voucher internet yang digunakan di dalam rumah tangga. Belum lagi, jika semua anggota keluarga membutuhkan aktivitas yang beririsan dengan penggunaan gawai, maka diperlukan ketersediaan gawai untuk tetap melanjutkan aktivitas secara online. Beban biaya tambahan ini harus ditanggung sendiri oleh anggota di rumah tangga, pasalnya kebutuhan primer terkait bahan pangan tetap menempati urutan pertama sebagai kebutuhan prioritas dalam rumah tangga. Namun, tidak semua rumah tangga memiliki persiapan budget untuk membeli kebutuhan bahan pangan ketika mempersiapkan masa lockdown. Ketimpangan ekonomi menjadi jurang pemisah yang mengkhawatirkan masyarakat miskin yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan. Berangkat dari rasa keprihatinan dan kepedulian bersama, muncul inovasi dan inisiasi gerakan sosial yang fokus menyoroti persoalan pangan dan memfasilitasi ketersediaan pangan bagi publik. Ini menjadi salah satu keunikan tersendiri di antara segala kecemasan dan ketakutan yang melanda emosional masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi masa pandemik seperti saat ini.

Inspirasi Hebat di Tengah Pagebluk

Dalam konteks wilayah Yogyakarta, Srikandi Lintas Iman, menjadi salah satu gerakan sosial perempuan yang aktif melakukan identifikasi, menghimpun donasi bahan pangan, serta mendistribusikan bantuan logistik kepada para perempuan yang secara ekonomi turut terdampak wabah virus corona. Selama masa lockdown, Srikandi Lintas Iman juga menjadi agensi untuk mendistribusikan pengetahuan tentang protokol kesehatan yang wajib dilakukan di masa pandemi ini, selain itu Srikandi Lintas Iman juga menerapkan asas gotong royong untuk melakukan pengembangan kapasitas bagi anggota dan perempuan secara umum dengan menginisiasi pembuatan diskusi yang berkaitan tentang penguatan kesehatan mental di masa pandemi, materi membangun jaringan sosial di masa pandemi, hingga pelaksanaan diskusi yang berkaitan dengan penguatan ekonomi UMKM di masa pandemi.

Salah satu pemateri yang pernah mengisi sesi diskusi via daring adalah Wasingatu Zakiyah, salah satu inisiator dan penggerak Jaringan Lumbung Pangan-Martani atau disingkat (JALU-Partani). Dalam bahasa Jawa, wabah memiliki istilah sendiri yakni pagebluk, secara kultural penggunaan istilah lokal mendorong masyarakat lebih mengerti bahwa sedang terjadi persebaran wabah, jenis wabah, dan kiat-kiat yang dilakukan selama terjadinya masa pandemi. JALU-Partani bergerak mulai dari wilayah pedesaan dan dilakukan sebagai bentuk kesadaran bersama membangun ketahanan pangan yang bersifat subsisten, yakni suatu proses menanam, pengolahan, produksi, hingga konsumsi untuk diri sendiri atau kelompok. Awalnya dilakukan di Gunungkidul sebagai bentuk kesigapan ketika menghadapi musim kemarau, Gunungkidul yang merupakan wilayah perbukitan kapur dan pegunungan yang minim ketersediaan air, kemudian membuat masyarakat semakin kesulitan mendapatkan air atau mengolah kebun.

Fenomena penyebaran virus corona masih distigmakan sama seperti bencana alam, kerangka berpikir “old-fashioned” ini kemudian bercokol dalam imajinasi masyarakat bahwa ketika terjadi wabah dan ada imbauan lockdown maka sikap masyarakat adalah menunggu datangnya bantuan. Padahal, senyatanya, pemerintah sedang kewalahan menentukan strategi untuk menghadapi virus corona sebagai “lawan yang tidak tampak”. Ketumpangtindihan ini semakin kompleks ketika masyarakat sulit menjual segala hasil kebun untuk didistribusikan kepada para pengecer, situasi ini diakibatkan dari implementasi kebijakan lockdown. Mau tidak mau, upaya “mengencangkan” ikat pinggang karena kekacauan kondisi ekonomi dan minimnya persiapan kebutuhan pangan dan budget, membuat masyarakat perdesaan sigap untuk menginisiasi penanaman secara mandiri.

Berbeda dengan wilayah urban, masyarakat di daerah perdesaan masih memiliki keleluasaan lahan yang menjadi media untuk ditanami, baik secara individual maupun kelompok. Sehingga dengan adanya diseminasi informasi penanaman kebutuhan pangan secara subsisten dapat dilakukan secara serentak dan bersama-sama. Tindakan ini juga diadopsi oleh masyarakat perkotaan, yakni upaya mengubah lahan terbatas di pekarangan menjadi area yang siap ditanami. Jika selama ini banyak pandangan yang beranggapan bahwa budaya bertanam telah luruh dan terhenti karena generasi muda tidak peduli, asumsi tersebut terbantahkan ketika adanya fenomena virus corona. Semangat bertanam ini disadari secara kolektif, diadopsi, dan disebarkan sehingga menjadi suatu penyebaran praktik baik untuk bertahan di masa pandemi.

Sebelum adanya virus corona, JALU-Partani juga melakukan advokasi terhadap penanaman bahan pangan lokal-organik yang bertujuan untuk meminimalkan impor bahan pangan. Ketergantungan Indonesia terhadap bahan impor menjadi fenomena “simalakama” yang semakin mempersulit Indonesia ketika secara global dunia sedang berada dalam masa darurat wabah. Menurut  Wasingatu, selama ini ketersediaan bahan pangan hanya definisikan secara salah kaprah oleh pemerintah, di mana penyeragaman bahan pangan yang hanya mengunggulkan beras tetapi pelan-pelan meluruhkan bahan pangan lokal yang kaya cita rasa dan tanaman. Akibatnya, petani lokal menjadi tidak dihargai akibat tingginya ketergantungan impor yang merupakan konsekuensi dari perdagangan bebas. Dampak makro dan mikro dalam situasi ini kembali merugikan masyarakat sipil mulai dari petani hingga masyarakat lain yang berperan sebagai konsumen. Ironisnya, ketergantungan impor ini tidak hanya di satu jenis bahan pangan, tetapi pelbagai jenis makanan termasuk juga daging, buah,  dan kacang kedelai.

Melalui adanya wabah, gerakan sosial JALU-Partani mendapatkan sorotan positif dari masyarakat, mereka tergerak dan sadar untuk mengadopsi dalam lingkungan sekitar tempat tinggal. Saat ini terdapat sekitar 70 desa yang telah melakukan pengembangan penanaman secara subsisten. Di wilayah perkotaan, JALU-Partani mengembangkan juga model cantelan, yakni meletakkan bahan pangan secara gratis yang digantungkan di suatu pusat pengumpulan bahan pangan, melakukan pembagian bibit rimpang dan sayur sehingga dapat menghasilkan bahan pangan, melakukan promosi bersama terhadap hasil kreativitas dapur melalui media sosial, dan membuka dapur umum logistik yang diberi nama Solidaritas Pangan Yogyakarta.

Gerakan sosial ini dilakukan sebagai upaya kepedulian terhadap kondisi perut para tunawisma ataupun bagi orang-orang yang lapar karena terdampak virus corona. Semua dilakukan dengan prinsip gotong royong, mulai dari penggalangan donasi, penentuan tempat, proses pengumpulan sembako, proses memasak, dan distribusi makanan. “Dapur merupakan ruang politik perempuan, bukan hanya ruang bagi keluarga. Perempuan mengambil peran besar dari sini. Yang memasak adalah perempuan. Hari ini, dapur tidak hanya menjadi ruang yang dilegitimisikan bagi perempuan dalam keluarga, dapur juga diharapkan menjadi ruang publik dan ruang bersolidaritas, terutama bagi pihak yang terdampak yaitu kaum miskin kota. Di masa pandemi ada solidaritas kolektif mulai dari produsen, petani, hingga kaum miskin kota,” ucap Wasingatu saat diskusi.

Terbentuknya gerakan JALU-Partani, harapannya mereka dapat bersinergi dengan pemerintah mewujudkan Indonesia sebagai negara yang memiliki kedaulatan pangan, tetapi di sisi lain keterjebakan Indonesia dalam skema ketergantungan impor pangan skala makro. Sehingga, untuk menguranginya,  JALU-Partani belajar dan berproses bersama masyarakat untuk mulai bertanam sederhana dari areal pekarangan sendiri. Harapannya, tidak ada lagi yang masyarakat Indonesia yang merasa kelaparan dan meninggal di masa lockown, sehingga dapat terwujud ketahanan pangan dan mengaktivasi semangat gotong royong dalam keluarga maupun kelompok masyarakat.