Tidak lama lagi pemungutan suara dalam ajang pilpres 2024 diselenggarakan, tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024. Debat Capres maupun Cawapres telah rampung juga digelar. Berbagai isu penting turut disoroti dalam topik-topik debat tersebut. Salah satunya terkait isu lingkungan.
Yayasan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang juga fokus menangani persoalan lingkungan, menginiasi gerakan di media sosial dengan mengajak berbagai organisasi jejaringnya dalam menyusun strategi kampanye mengenai isu lingkungan ini di media sosial. Srikandi Lintas Iman yang menjadi salah satu jejaring Yayasan LKiS turut serta juga mengambil bagian dalam menyuarakan isu lingkungan.
Dalam kaitannya dengan pemilu tahun ini, hal tersebut menjadi upaya menyoroti visi-misi setiap paslon dalam komitmennya menangani berbagai kasus pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia.
Kegiatan workshop bersama para penanggung jawab akun media sosial dari setiap lembaga pun diselenggaran oleh Yayasan LKiS beberapa waktu lalu. Dimulai dengan membahas berbagai persoalan iklim yang sampai hari ini tak terselesaikan, sampai kesepakatan dalam pembuatan narasi-narasi kampanye di media sosial dalam mengarusutamakan isu lingkungan ini agar menjadi prioritas oleh para paslon.
Membincang Isu Lingkungan, Membincang Kacaunya ‘Dapur’ Indonesia
Persoalan isu lingkungan bagi saya adalah persoalan dapur ibu kita. Alam semesta adalah ibu bagi manusia, yang melahirkan, membesarkan, dan memelihara manusia. Di dalam alam semesta yang adalah rumah bagi seorang ibu untuk merawat anak-anaknya, tentu terdapat berbagai peralatan yang penting untuk menunjang kerja-kerja perawatan dan kerja-kerja domestik ‘ibu’ kita.
Tanah adalah sumber untuk memberi makan anak-anaknya. Air untuk menjamin anak-anaknya tidak sampai kehausan dan cukup untuk membasuh diri dan segala keperluan sehari-hari, seperti menyiapkan makanan, dll. Udara juga tak kalah penting harus terawat agar selalu bersih dan tidak sampai membawa sakit bagi anak-anaknya.
Namun, sangat disayangkan, perlengkapan-perlengkapan ‘dapur’ yang sejatinya perlu terus dirawat dan digunakan sebagaimana mestinya; dikacaukan oleh tangan-tangan serakah lagi tidak bertanggung jawab.
Dewasa ini, semakin banyak bermunculan dampak kacaunya ‘dapur’ (kerusakan iklim) ibu kita. Misalnya saja, deforestasi. Di mana, Indonesia mengalami tingkat deforestasi yang tinggi, terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan, akibat kegiatan perambahan hutan untuk pertanian kelapa sawit, kehutanan, dan industri lainnya.
Masih lekat dalam ingatan bagaimana pencemaran udara yang terjadi di Ibu Kota tahun lalu akibat emisi kendaraan bermotor dan industri yang tidak memiliki regulasi pembuangan limbah yang tidak mencemari lingkungan.
Belum lagi, masalah kerusakan ekosistem laut. Yang mana, ekosistem terumbu karang dan keanekaragaman hayati di perairan Indonesia sampai saat ini telah menghadapi tekanan besar akibat penangkapan ikan berlebihan, metode penangkapan ikan yang merusak, dan perubahan iklim.
Hal tersebut diperkuat pernyataan dari Direktorat Jendral Pengelolaan Ruang Laut (RPL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mencatat bahwa, luas terumbu karang di perairan Indonesia sampai tahun 2023 mencapai 2,5 juta hektar dengan jumlah spesies mencapai 569 spesies. Kendati demikian, sekitar 33,82% di antaranya telah mengalami kerusakan (dalam kondisi kurang baik).
Mengutip dari artikel jurnal yang terbit pada tahun 2020 oleh Muhammad Panatagama Syahid, dampak perubahan iklim sampai hari ini makin terasa di Indonesia. Seperti peningkatan suhu, perubahan pola hujan, dan intensifikasi kejadian cuaca ekstrem, termasuk menghangatnya suhu permukaan laut.
Berdasarkan laporan dari IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) menyajikan bukti bahwa perubahan iklim benar telah terjadi dan suhu bumi telah naik sebesar 0,8°C selama satu abad terakhir. Tiga dekade terakhir faktanya juga lebih hangat daripada sebelumnya.
Lebih jauh, Muhammad Panatagama Syahid menjabarkan dalam artikelnya bahwa, berdasarkan pemodelan, pada akhir tahun 2100, suhu global diperkirakan akan menjadi 1,8-4°C lebih hangat daripada suhu rata-rata dari tahun 1980 hingga 1999. Peningkatan ini setara dengan 2,5-4,7°C dibandingkan dengan periode pra-industri. Penyebab utama pemanasan global adalah masuknya energi panas ke dalam lautan, sekitar 90% dari total pemanasan, yang terus menghangat selama periode ini.
Tak dipungkiri pengelolaan sampah dan terjadinya krisis air di beberapa daerah juga turut menambah daftar panjang dari krisis lingkungan. Terjadinya musim kemarau yang panjang serta pengelolaan sumber daya air yang tidak berkelanjutan membuat krisis air tersebut tidak terhindarkan.
Memotret Kegagalan Negara dalam Merespon Kerusakan Lingkungan
Melansir dari website KBR dengan judul berita, “COP28, Klaim Indonesia, dan Kritik Penanganan Krisis Iklim” Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, mengklaim bahwa Indonesia telah berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 52 persen pada tahun 2020, angka yang lebih tinggi dari negara-negara lain yang menargetkan penurunan emisi minimal 43 persen.
Namun, setelah tahun 2020, angka penurunan emisi nasional mengalami fluktuasi, menjadi 43 persen pada tahun 2021 dan 42 persen pada tahun 2022.
Klaim ini disampaikan oleh Menteri Siti pada saat mengunjungi Paviliun Indonesia di COP28 Dubai, Uni Emirat Arab. Dia meyakinkan bahwa Indonesia telah masuk dalam kelompok negara yang berhasil menurunkan emisi dengan ambisi yang cukup tinggi serta pemerintah terus berupaya keras untuk menurunkan emisi dari sejumlah sektor, seperti wilayah pesisir dengan ekosistem mangrove, terumbu karang, pertanian, dan peternakan.
Namun, upaya-upaya itu tetap saja menuai beragam kritikan, seperti yang datang dari Greenpeace Indonesia.
Dalam kritikannya, Greenpeace mengingatkan bahwa alih fungsi lahan di Kalimantan Timur, yang menjadi area pertambangan batu bara, telah menyebabkan peningkatan suhu yang tinggi di wilayah tersebut. Kenaikan suhu udara permukaan tertinggi di Indonesia, terutama di lokasi ibu kota baru, telah mencapai 0,47 derajat Celsius per dekade. Hal ini disebabkan adanya pengurangan luasan hutan yang terjadi.
Dari sini, Greenpeace menekankan bahwa pemerintah harus serius mengatasi krisis iklim dan melakukan konversi energi untuk menekan laju kenaikan suhu udara sesuai dengan komitmen global. Mereka juga mengingatkan bahwa krisis iklim memiliki dampak yang sangat buruk bagi masyarakat, termasuk ancaman terhadap ketahanan pangan akibat gagal panen.
Tak berhenti di situ, program food estate yang dijalankan di Kalimantan Tengah juga ikut mangkrak. Ratusan hektar lahan yang semula adalah hutan dan tempat masyarakat dayak menggantungkan kehidupannya kini sudah rata dengan tanah. Hal itu sebagaimana dikutip dari liputan BBC pada tahun 2023 dengan judul berita “Food estate: Perkebunan singkong mangkrak, ribuan hektare sawah tak kunjung panen di Kalteng”.
Hanya Satu Persen, Bukti Ketidakseriusan Paslon terhadap Dampak Kerusakan Iklim
Dari berbagai persoalan yang sudah dijabarkan di atas, kita kemudian perlu mengintip bagaimana visi-misi paslon terkait masalah ini. Jika dikutip dari artikel yang terbit di portal media beritasatu.com terlihat jelas bahwa dari 8 misi yang masing-masing diajukan oleh ketiga paslon. Mulai dari paslon nomor urut 1 yaitu, Anies-Cak Imin yang dari 8 misi itu, hanya dua di antaranya yang berisi tentang lingkungan hidup yang berada pada poin pertama dan ketiga. Di mana, poin pertama berbunyi “memastikan ketersediaan kebutuhan pokok dan biaya hidup murah melalui kemandirian pangan, ketahanan energi, dan kedaulatan air.” Dan poin kedua adalah mengatur mengenai masalah iklim dengan bunyi, “mewujudkan keadilan ekologis berkelanjutan untuk generasi mendatang.”
Disusul dengan paslon nomor urut 2 yaitu, Prabowo-Gibran yang juga mengusung 8 misi, dan sayangnya hal yang mengenai lingkungan hidup hanya terdapat pada poin kedua yang berbunyi, “memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.”
Yang terakhir yaitu, paslon nomor urut 3 ada Ganjar-Mahfud yang di antara 8 misi yang mereka ajukan, lagi-lagi hanya ada satu poin yang membahas mengenai lingkungan dan itu terdapat di poin keenam yang beirisi mempercepat perwujudan lingkungan hidup yang berkelanjutan melalui ekonomi hijau dan biru.
Co-director Data & Democracy Research Hub Monash University Indonesia Derry Wijaya kemudian mengajukan krtikannya terhadap hal tersebut. Ia mengatakan bahwa meski masing-masing dari mereka (paslon) memiliki visi misi yang berbeda, tetapi ketiga paslon ini sama-sama tidak memberikan perhatian serius terhadap isu perubahan iklim dan pelestarian lingkungan. Sangat disayangkan bahwa, visi-misi ketiga paslon hanya ada satu persen yang memiliki kata-kata yang berhubungan dengan kebijakan lingkungan.
Tak ketinggalan, Derry juga ikut memperinci persentasi dari masing-masing paslon seperti, Anies-Muhaimin dengan 44 kata (0,6 persen), sementara pasangan Prabowo-Gibran sebanyak 44 kata (0,58 persen), dan Ganjar-Mahfud disebut memiliki kata yang berhubungan dengan lingkungan dengan 47 kata atau sekitar 1,09 persen. Dengan kata kunci ‘lingkungan’, ‘iklim’, ‘ekologi’, dan ‘energi’.
Dari sini kita dapat dilihat bahwa perubahan iklim dan lingkungan bukan merupakan prioritas para paslon. Padahal ancaman dan dampak dari kerusakan iklim itu sendiri telah dirasakan banyak pihak yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Terlebih isu pemanasan global dan perubahan iklim ini merupakan agenda global, sehingga sudah seharusnya para kandidat memliki komitmen yang lebih terhadap isu perubahan iklim. Hal itu sebagaimana yang ditegaskan oleh Chair Monash Climate Change Communication Research Hub-Indonesia, Node Ika Idris dalam kutipan artikel yang sama.
Sialnya, para paslon maupun masing-masing pendukugnya kadung terjebak dalam berbagai gimik politik yang tidak perlu, dan kemudian abai terhadap isu-isu krusial yang sebenarnya jauh lebih penting untuk dibicarakan. Ketimbang sibuk menyusun strategi-strategi konkret dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang sudah berlarut-larut tanpa penyelesaian, para paslon ternyata jauh lebih sibuk memproduksi gimik-gimik politik untuk menarik perhatian masyarakat. Tak ayal, hal ini kemudian menyilaukan sebagian besar masyarakat yang seolah tak peduli lagi terhadap keseriusan para paslon dalam menangani ragam persoalan tersebut. Mereka nyatanya lebih girang melihat para paslon energik dalam gimiknya ketimbang energik dalam mengadu gagasan-gagasannya.
Pertanyaannya, apakah kita menjadi salah satu dari kelompok masyarakat yang silau akan gimik politik ini, atau malah sebaliknya?. Menjadi bagian kecil dari masyarakat yang tidak putus asa untuk terus menuntut para paslon agar fokus terhadap persoalan-persoalan bangsa yang harus segera ditangani, salah satunya terkait isu lingkungan ini.