Menyikapi Keberadaan Perempuan (Cantik) di Panggung Politik

Oleh Ivy Sudjana

Sebuah penggalan cuitan akun Twitter seorang  buzzer (yang tidak diketahui identitas aslinya) di tahun 2018 cukup menyita perhatian saya.

‘Aku jadi was-was kalo ada akun twitter avanya perempuan cantik, jangan-jangan ia hanya cebong dan buser politik.’

Keberadaan perempuan di dunia politik yang maskulin, diakui banyak pihak ibarat magnet yang mudah menghipnotis publik.

Lalu, ditambah lagi dengan label cantik. Ada apakah dengan perempuan cantik di panggung politik? Hanya sekadar modelkah? Boneka etalase saja agar menarik pemilih lelaki? Atau diposisikan sebagai buser untuk membuat kisruh masyarakat, dengan aneka cuitan hoaks?

Tak usah menampik bahwa label perempuan cantik akan lebih menarik dibanding perempuan pintar, yang justru dalam paham patriarki sering diposisikan sebagai alpha female yang seketika menunjuk sosok yang diasumsikan tidak menyenangkan. Judes, banyak menuntut, dan segala macam sifat negatif lainnya.

Coba tanyakan secara jujur kepada para lelaki, termasuk kepada perempuan juga, apakah masih ada yang merasa insecure bila pemimpin mereka perempuan yang cerdas, berani bersuara, dan bersikap?

Bandingkan dengan perempuan cantik yang ditonjolkan. Asumsi yang muncul, yang penting wajahnya enak dipandang, hal lain-lain bisa didukung anggota lain. Baik ketika di dalam poster dan baliho, maupun saat sosok itu ikut dalam kampanye, termasuk ketika sudah terpilih dan duduk di ruang rapat. Ibarat boneka, kehadirannya hanya berhenti di posisi ‘ada’, atau seolah hanya memenuhi persentase wajib dari seluruh calon, sehingga tak ada ribut-ribut soal kesetaraan dan tentang keterwakilan perempuan.

Persoalan ini makin pelik, dengan beberapa kejadian baru-baru ini. Kasus anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP, Cinta Mega, yang diduga bermain judi slot, dianggap bukti bahwa benar perempuan tak pantas di panggung politik.

Ketika ditelisik, kekeliruan tak serta merta pada sosok perempuan itu saja. Melainkan pada partai yang mengusung maupun pemegang kebijakan dewan sendiri.

Tak banyak bukti riil kinerja anggota legislatif perempuan dalam lima tahun ini, seolah-olah menjadi kesengajaan, karena fakta di lapangan banyak di antara mereka ditempatkan pada area yang tidak sesuai keahlian dan profesinya, sehingga mereka tak berkompeten dalam berkiprah. Belum lagi munculnya kritikan akan jarangnya mereka memberikan pendapat ketika rapat berlangsung.

Tak jarang pula isu peran domestik perempuan dikemukakan. Pertanyaan-pertanyaan semacam apakah kerja politik perempuan ini sudah direstui keluarga, bagaimana dia meninggalkan rumah dan anak-anak saat menjalankan tugas, apalagi di malam hari atau keluar daerah, serta bagaimana bila berhadapan dengan demonstran yang ‘biasa’ diasosiasikan dengan kekerasan. Pernyataan ini seolah membenarkan bahwa memang politik tempatnya dunia para lelaki, bukan bidang yang perlu diurusi oleh perempuan.

Bivitri Susanti, seorang praktisi hukum, dosen STHI Jentera memberi contoh konkret tentang tantangan perempuan yang berkiprah dalam politik. “Cerita tentang rapat-rapat pengambilan keputusan banyak yang dilakukan malam hari, di luar kantor, dengan tempat yang tidak nyaman bagi perempuan, disertai lelucon seksis para politisi lelaki yang kerap menyudutkan perempuan, membuat teman-teman perempuan yang akan maju sebagai calon legislatif berpikir keras untuk lanjut dengan perjuangannya.”

Padahal harapan para pegiat isu perempuan yang dititipkan kepada wakil perempuan dalam pemerintahan cukup besar.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah provinsi Bengkulu, Hj. Riri Damayanti John Latief, misalnya, mengingatkan untuk Pemilu 2024 nanti, keterwakilan perempuan menjadi penting untuk memperjuangkan hak-haknya dan juga hak anak-anak.

Pernyataan itu sejalan dengan semangat RA Kartini dalam salah satu kutipannya.

“Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri.”

Namun, semua semangat tersebut lantas mentah ketika keputusan MA mencetuskan hal berbeda baru-baru ini.

Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pasal 8 Ayat 1 menyatakan bahwa partai politik wajib mengajukan daftar bakal caleg dengan komposisi minimal 30 persen perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil), tetapi pada ayat 2, hasil penghitungan kuota 30 persen itu dibulatkan ke bawah.

Secara sederhana dicontohkan seperti ini. Di sebuah daerah pemilihan terdapat empat kursi untuk anggota dewan, lalu partai-partai politik mengajukan empat bakal calon legislatif. Dengan ketentuan kuota 30 persen, berarti menurut perhitungan matematis partai politik hanya mengajukan 1,20 orang caleg perempuan. Dengan ketentuan pembulatan ke bawah, partai akhirnya hanya bisa mendaftarkan satu caleg perempuan. Hal ini jelas merugikan dan tidak lagi memenuhi aturan 30% murni seperti yang diterapkan pada periode Pemilu di tahun-tahun sebelumnya.

Untungnya, para aktivis perempuan dan pemerhati politik tak tinggal diam begitu saja. Sejak Mei mereka protes dan berjuang untuk pembatalan peraturan yang sangat merugikan itu, dan tanggal 30 Agustus kemarin menuai hasil. Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan pembatalan penerapan peraturan pembulatan ke bawah tersebut.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara perempuan menyikapi situasi kompleks serupa di atas? Apakah kita mesti terlibat langsung menjadi petugas di kepanitiaan pesta demokrasi? Atau karena ada keluarga yang menjadi calon wakil rakyat, kita ikut-ikutan juga, padahal secara kemampuan belum mumpuni? Atau karena paras kita yang cukup cantik atau menarik, mau saja dijadikan boneka partai, demi menunjukkan keterwakilan perempuan?

Bivitri Susanti memberi pernyataan tersendiri ketika Webinar Srikandi Lintas Iman (Srili) 26 Agustus kemarin. Bahwa soal kesetaraan gender dan perhatian pada kelompok rentan adalah masalah perspektif, bukan sekadar kosakata, prosedur, atau kategori. Karena perspektif dan berkaitan dengan sistem, perempuan perlu terus mengedukasi perempuan, maupun lelaki, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti melalui postingan di media sosial.

Bivitri mengakui, dia sendiri biasa memprioritaskan terpilihnya para calon wakil rakyat perempuan, dengan catatan, rekam jejak dan karya para calon itu selama ini memang perlu diperjuangkan. Karenanya kemampuan literasi digital setiap perempuan menjadi penting untuk mendukung perempuan lain.

Upaya lain, yang tak kalah penting sebenarnya adalah berjejaring dan berkolaborasi dengan komunitas yang juga memperjuangkan isu perempuan dan kesetaraan yang sama, sehingga bisa saling support, lebih berdampak dan powerful, dibanding hanya berjuang sendiri saja.

Bukankah kita boleh berharap, suatu waktu nanti, suara, kiprah, dan karya para perempuan juga akan berpengaruh bagi pembaharuan dan kemajuan negeri ini?