Menepis Anggapan “Perempuan Sumber Hoaks Pemilu” dalam Mewujudkan Pemilu Damai

Sebuah video kampanye hitam berdurasi 59 detik yang dibuat tiga perempuan di Karawang, Jawa Barat sempat menggegerkan publik pada masa kampanye Pemilu 2019 silam. Video berbahasa Sunda itu membuat gempar lantaran menyebut kalau Jokowi menjadi presiden, maka adzan akan dilarang, perempuan tidak boleh berkerudung dan pernikahan sesama jenis diperbolehkan.

Sebelumnya, kabar yang tidak kalah menggemparkan juga datang dari pendukung Prabowo Subianto. Menurut informasi yang beredar di Facebook, aktivis dan seniman teater Ratna Sarumpaet dikabarkan telah dianiaya oleh orang tak dikenal hingga wajahnya mengalami lebam. Meski akhirnya Ratna mengaku telah berbohong dan kasusnya diproses hukum, kabar ini berhasil menggiring opini publik bahwa tindakannya itu didasari oleh kepentingan politik.

Dikutip dari BBC Indonesia (2/4/2019), Pelaksana Tugas Kepala Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu, menuturkan Kominfo melalui mesin AIS (mesin pengais konten negatif) telah menemukan ibu-ibu menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan menebar hoaks. Studi khusus yang dilakukan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) juga menyebutkan hasil yang sama dengan pengamatan Kominfo.

Saya jadi teringat pada narasi-narasi misoginis yang menyebut perempuan sebagai sumber fitnah dan dosa. Masyarakat patriarkis yang kadung mengamini narasi tersebut tentu akan mengaitkannya dengan persebaran hoaks pemilu. Pertanyaannya, benarkah anggapan tersebut?

Mengapa Perempuan Bisa Jadi Korban Sekaligus Penyebar Hoaks Pemilu?

Sebenarnya, perempuan yang menyebarkan hoaks pemilu sekaligus merupakan korban. Ada kemungkinan jika ia tidak tahu bahwa informasi yang diterimanya adalah hoaks. Entah karena panik atau terdorong oleh perasaan ingin berbagi, informasi tersebut langsung disebar pada orang lain, tanpa sempat melakukan verifikasi. Akhirnya, jadilah berita hoaks tersebut layaknya sebuah rangkaian pesan berantai.

Namun, sebelum menuding perempuan sebagai sumber hoaks pemilu, kita perlu memahami bahwa ini merupakan masalah kompleks. Alih-alih mengaitkannya dengan gender seseorang, penyebaran hoaks pemilu lebih banyak dipengaruhi oleh kurangnya kemampuan literasi digital dan wawasan politik.

Menurut laporan Status Literasi Digital Indonesia 2021 dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center (KIC), literasi digital Indonesia berada pada level “sedang” dengan skor rata-rata 3,49 (penilaian dalam skala 1-5). Apabila dilihat berdasarkan gender, literasi digital perempuan umumnya belum setara dengan laki-laki, di mana proporsi perempuan yang meraih skor di atas rata-rata nasional baru 45%.

Kemampuan literasi digital bukan hanya soal bisa atau tidak mengoperasikan perangkat teknologi. Cakupan literasi digital juga menyangkut kemampuan beradaptasi dengan perkembangan teknologi, kemampuan berpikir kritis dan analitis dalam merespon informasi, pengetahuan tentang keamanan digital hingga etika digital. Agar bisa menjadi orang yang melek digital, seseorang perlu waktu dan sumber daya pendukung yang memadai untuk belajar dan mengembangkan kemampuan literasi digitalnya.

Sumber daya yang harus ada untuk mendukung peningkatan kemampuan literasi digital adalah kepemilikan gawai, ketersediaan infrastruktur digital dan akses internet. Memiliki sumber daya tersebut saja tidak selalu menjamin perempuan memiliki kemampuan literasi digital yang lebih baik. Sebab, kemampuan literasi digital, termasuk pemahaman untuk membedakan antara informasi palsu atau bukan, adalah sebuah hal yang perlu dilatih dan dibiasakan.

Sayangnya, konstruksi sosial-budaya yang membebankan pekerjaan domestik dan pengasuhan anak pada perempuan membuat waktu yang mereka miliki untuk mengasah literasi digital maupun meningkatkan pengetahuan politiknya menjadi lebih terbatas.

UN Women menyebut bahwa perempuan menghabiskan waktu tiga kali lebih banyak untuk melakukan pekerjaan domestik dibandingkan laki-laki. Kondisi ini tentu membuat perempuan lebih memilih menggunakan waktunya untuk mengurus rumah tangga, suami dan anak ketimbang mencari tahu lebih dalam atau mengkritisi dan menganalisis kebenaran informasi yang diterima.

Belum lagi pandangan negatif orang-orang terhadap ibu-ibu yang menghabiskan banyak waktu untuk berinteraksi dengan teknologi di sela kesibukannya mengurus anak dan pekerjaan domestik. Terlalu lama berinteraksi dengan teknologi seringkali menyebabkan mereka menerima komentar seksis seperti, “Ibunya main HP terus sih, pantesan anaknya gak keurus” atau “Pantesan kerjaan rumah gak ada yang beres, wong ibunya main kebanyakan main HP”.

Padahal, kalau kita mau berprasangka baik, bisa saja mereka sedang mengakses informasi yang bermanfaat dan menambah pengetahuan. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana perempuan bisa punya cukup waktu luang untuk paling tidak melakukan cek fakta?

Perempuan Sebagai Agen Pemilu Damai

Politik tidak berjenis kelamin lelaki atau perempuan. Tidak pula bersifat feminin atau maskulin. Pengaruh budaya patriarki lah yang membuat politik dianggap sebagai dunia laki-laki. Akibatnya, perempuan seringkali disubordinasi sehingga hanya jadi objek dan penonton dari kampanye politik.

Pengalaman, perspektif, cara pendekatan dan gaya komunikasi perempuan yang khas sejatinya merupakan potensi yang dapat diberdayakan untuk mempromosikan pemilu damai. Hal ini memungkinkan mereka untuk melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat secara lebih luas, terutama pada sesama perempuan, baik kepada kaum perempuan urban dan berprivilese maupun perempuan di pedesaan dan underprivileged.

Beberapa poin penting dalam narasi pemilu damai yang perlu disebarkan kepada masyarakat adalah melawan berita hoaks, ujaran kebencian maupun bentuk kekerasan politik lainnya yang berpotensi menimbulkan keresahan dan perpecahan.

Media sosial dengan jangkauannya yang luas memang cocok dijadikan alat untuk menyebarkan narasi pemilu damai. Apalagi jika penyampaiannya dikemas dengan cara-cara yang kreatif, menarik dan bahasanya mudah dipahami.

Namun, edukasi melalui media sosial hanya bisa menyentuh masyarakat yang memiliki akses dan sumber daya memadai seperti masyarakat urban, anak-anak muda, orang-orang berpendidikan tinggi dan mampu menggunakan teknologi.

Oleh karena itu, forum-forum perempuan atau ibu-ibu seperti PKK atau majelis taklim menjadi penting dimanfaatkan untuk memberikan edukasi dan sosialisasi yang diantaranya mencakup tentang pentingnya pemilu dan bagaimana proses memilih pemimpin, hak dan kewajiban pemilih, cara dan sikap dalam merespon berita hoaks (termasuk mekanisme pelaporan hoaks pemilu) dan sebagainya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *