CATATAN EDITOR
Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuatan), yang secara harfiah memiliki makna kekuatan rakyat. Rakyat yang dimaksud tentu saja tak berarti hanya lelaki saja, tanpa melibatkan perempuan. Akan tetapi, masyarakat yang didominasi paham patriarki lebih banyak mengedepankan kaum lelaki saja, perempuan ibarat warga negara kelas dua.
Sejak reformasi politik yang dimulai tahun ’99, sesungguhnya posisi dan kesempatan perempuan dalam ranah politik makin diperluas. Apalagi menilik betapa pentingnya demokrasi bagi Bangsa Indonesia.
Demokrasi menjadi pilihan sistem pemerintahan terbaik karena diasumsikan mampu mengakomodasi beragamnya kepentingan dan aspirasi masyarakat. Mudah-mudahan masyarakat yang dimaksud di sini bukan hanya kebermanfaatan satu gender ini.
Tema tulisan bulan ini tentang cerita pengalaman perempuan dalam proses demokrasi di Indonesia sebenarnya bisa sangat variatif. Tak hanya mengulik posisi dan kesempatan politik kaum perempuan, seperti yang diungkapkan Ainun, kontributor terpilih Juni 2023. Melainkan juga, bagaimana proses demokrasi itu berlangsung di ranah keluarga, di ranah domestik, lingkungan kerja, dan masih banyak lagi.
Ketika kesempatan dan aspirasi perempuan dianggap sama dan setara dengan lelaki di bidang apapun, bukankah menurut pengertian demokrasi yang sering dibilang people power akan makin kencang gaungnya, dan makin besar kebermanfaatannya bagi masyarakat, Bangsa dan Negara?
Sejak awal saya mengira jika perempuan — oleh partai politik yang mengusung, belum benar-benar menyiapkan good capacity untuk kandidat yang diajukan. Kuota 30 persen perempuan di parlemen hanya sekadar memenuhi persyaratan keikutsertaan partainya di pemilu saja.
Hal ini bukan tanpa alasan. Sebagaimana yang disampaikan Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Luluk Nur Hamidah (2022), yang mengakui bahwa peningkatkan jumlah keterwakilan perempuan memang berjalan dengan sangat lambat. Itu terjadi karena umumnya partai politik sebagai hulunya, belum memiliki upaya serius untuk meningkatkan jumlah dan kualitas politisi perempuan. Kebanyakan hanya sebatas memenuhi persyaratan kuota 30 persen demi lolos mengikuti pemilu.
Pada akhirnya perempuan-perempuan yang maju sebagai wakil rakyat tidak cukup kompeten dalam menjalankan tanggung jawab dan perannya di parlemen. Kebanyakan dari mereka tidak mendapatkan posisi yang strategis. Fakta ini juga berdasarkan statement yang disampaikan oleh Luluk Nur Hamidah yang menyambung kecemasannya di awal.
“Jika pun tigapuluh persen itu ada, bisa dicek tigapuluh persen ini perempuannya ada di mana? Apakah sekadar gelondongan tigapuluh persen ada di partai atau tigapuluh persen perempuan yang mengambil keputusan? Apakah perempuan memang menduduki posisi sebagai ketua umum, sekjen dan seterusnya? Apakah ia berada di posisi-posisi perumus keputusan yang signifikan atau sebatas “paket gelondongan” untuk memenuhi syarat tigapuluh persen ketika diperiksa KPU?” Sebuah kondisi yang miris.
Dari Kultur Partai Politik sampai Adanya Politisasi Anggaran, menjadi Faktor Penghambat Perempuan.
Tak hanya itu, berbagai faktor lain yang masih menjadi hambatan posisi perempuan di parlemen, menurut artikel VOA Indonesia yang ditulis oleh Eva Mazrieva (2022), adalah kultur dalam partai politik. Yang mana terkait dengan perkembangan nilai-nilai internalisasi demokrasi di partai politik, sehingga perempuan bisa cukup terfasilitasi. Belum lagi perihal ada tidaknya mekanisme yang mengakomodasi perbedaan dan kepentingan perempuan.
Hambatan yang tidak kalah penting lainnya yaitu, adanya politisasi anggaran. Berapa persentase anggaran yang digunakan untuk menciptakan ruang bagi politisi perempuan dan bagaimana hal itu bisa meningkatkan kualitas dan kemampuan lain yang dibutuhkan agar bisa menjadi politisi yang unggul. Karena, seringkali bantuan politik resmi dari pemerintah untuk partai politik tidak sampai pada tujuan untuk menguatkan kapasitas perempuan di partai politik.
Luluk Nur Hamidah sebagai salah satu politisi perempuan menyatakan bahwa gerakan masyarakat sipil sepuluh tahun terakhir ini sudah berupaya untuk mendorong agar APBN yang diberikan kepada partai politik, harus dialokasikan sekian persen untuk menguatkan politisi perempuan. Sehingga, dari hulu perempuan-perempuan yang berkecimpung di partai sudah disiapkan dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kontestasi baik di dalam partainya sendiri, maupun antar partai.
Budaya Patriarki Ikut Memperparah Sekaligus Membangun Mental “Wonder Women” itu
Tak dipungkiri jika pelanggengan budaya patriarki yang menstigmatisasi politisi perempuan juga turut memperparah kiprah perempuan di dunia politik. “Dari tahun ke tahun sebenarnya dukungan bagi perempuan itu selalu ada. Hanya saja, perlu jujur untuk mengakui jika hal itu berkurang ketika sudah memasuki tahun politik atau tahun dilangsungkannya pemilu,” tutur Luluk lagi.
Adapun penyebabnya, karena masih tumbuh suburnya persepsi masyarakat yang memandang bahwa tempat perempuan bukan di dunia politik karena dinilai penuh kekerasan dan “jorok”, dan kerap menghadapkan perempuan hanya kepada pekerjaan-pekerjaan tradisional. Bahwa dunia politik adalah dunia maskulin yang otomatis bukan dunia perempuan yang mutlak dianggap sebagai makhluk feminin.
Perihal maskulinitas ataupun feminitas ini sebenarnya tidak terkait pada satu jenis kelamin tertentu. Karena, jika diperpanjang akan mengarah kepada definisi gender dan seksualitas. Tetapi, saya tidak ingin mengulas itu juga, lebih mencoba fokus pada jeratan budaya patriarki. Yang satu sisi, bisa menghambat perempuan, di sisi lain sebagai cambuk bagi perempuan untuk lebih berani mengambil peran tersebut (wonder women).
Bagi Luluk Nur Hamidah, perempuan layak menyandang gelar “wonder woman” dalam dunia politik atas upaya kerasnya menepis stigma sebagai perempuan yang tidak peduli pada keluarga atau lebih memilih karir politik, dan lain-lain. Stigma yang berat bagi perempuan, dibanding laki-laki yang tidak menghadapi hal serupa.
Nyatanya, perempuan memang selalu dihadapkan pada posisi yang tidak menguntungkan. Ia menghadapi tantangan dua kali lipat lebih besar dari yang dihadapi oleh laki-laki, hanya karena ia terlahir sebagai perempuan. Berbagai ketidakadilan yang terjadi dan dipertontonkan sedemikian rupa bagaimanapun membutuhkan sinergi perempuan maupun laki-laki yang ingin berjuang bersama untuk mengurainya.
Hal ini juga sejalan dengan yang dibabarkan Bintang Puspayoga selaku Menteri PPPA (2022), dengan mengemukakan hasil survei Bank Dunia yang menyatakan, ketika perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk aktif secara politik dan membuat berbagai keputusan serta kebijakan, maka akan muncul kebijakan-kebijakan yang lebih representatif dan inklusif untuk mencapai pembangunan yang lebih baik.
Bukankah kondisi seperti itu yang sesungguhya kita kehendaki? Sebagai perempuan.