Malam 9 Juni 2024, sambil sesekali meneguk segelas es kopi susu gula aren yang menjadi favoritnya, tangan Tian sibuk mengutak- atik gawai layar sentuh miliknya. Nongkrong di café langganan, menikmati live music yang banyak menyanyikan lagu Dewa 19, minum minuman favorit, adalah cara perempuan dua puluh sembilan tahun ini menghabiskan akhir pekan. Dan tentu saja sambil berulang kali men-scroll media sosialnya, mulai dari Instagram, Twitter, Whatsapp, dan sesekali Facebook, walaupun beberapa kali ia pernah mendapatkan pengalaman tak menyenangkan lewat media sosialnya tersebut.

Media sosial seperti pisau bermata dua, disatu sisi sangat membantu segala aktivitas Tian dalam banyak hal. Mulai dari pekerjaan, bersosial atau menjalin komunikasi dengan teman- teman maupun kerabat ketika terkendala jarak, mendapat dan mencari informasi, bahkan menurutnya media sosial juga menjadi sarana rekreasi dan have fun. Tapi seperti pisau bermata dua, dibalik banyaknya sisi positif dan manfaat yang didapatkannya dalam bermedia sosial, nyatanya ia juga terkena imbas dari kemudahan berinteraksi antar manusia yang difasilitasi oleh ruang daring tersebut.
“Aku engga tahu ya, ini manusia apakah random, atau dia sebenarnya orang yang secara personal kenal dengan aku. Tapi nyebelinnya, selalu muncul nge-DM ke Instagram tiap kali aku posting aktivitas aku pas olahraga. Dan pesan dia selalu dimulai dengan ucapan yang ngebahas ketiak aku. Ya yang ketek aku basah pengen cium, ya bilang ketiak aku gemesin dan bikin engga tahan, dan masih ada beberapa lagi yang menurut aku ucapannya itu udah keterlaluan. Tapi lucunya itu dengan akun yang selalu beda. Jadi tiap udah aku block eh muncul akun baru lagi, berulang kayak gitu tapi yang dibahas selalu diawali soal ketiak,” ucap Tian (30 tahun) mencoba lagi menceritakan pengalamannya mendapatkan pelecehan di media sosial Instagram.
Bagi Tian media sosial itu seperti pisau bermata dua, disatu sisi itu sangat membantu segala aktivitasnya, mulai dari pekerjaan, bersosial, juga ruang rekreasi dan have fun. Tapi di satu sisi media sosial itu juga rawan penipuan, peretasan, juga pelecehan seksual seperti yang ia alami. “Di dunia maya, menurut aku orang itu lebih berani. Mungkin karena merasa tidak berhadapan langsung kali ya. Juga bisa menjadi anonim, jadi orang- orang tertentu merasa ‘bisa seenak jidat’ melakukan hal yang kadang diluar nalar. Kayak berkomentar dengan kata- kata kasar, menipu orang, nyebarin ujaran kebencian, ngancam, juga ngelakuin pelecehan,” ujar Tian.
Tidak hanya Tian, Indah seorang dosen di salah satu Universitas Swasta pun pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan melalui media sosial. Beberapa kali ia mengalami pelecehan dari teman lelaki yang ia kenal melalui media sosial. Perkenalan yang awalnya bertujuan untuk mengasah kemampuannya dalam Bahasa Inggris dengan percakapan yang menurutnya biasa- biasa saja, tiba- tiba ‘dikotori’ dengan spam foto tidak senonoh yang dilakukan teman lelakinya tersebut. “Aku kan suka chatingan dengan sama orang luar ya, ya niatnya ngasah Bahasa Inggris. Tiba- tiba di spam penisnya sialan. Bahkan ada juga yang baru chat langsung spam gitu.” Indah menjelaskan.
Ruang Publik yang Tak Lagi Nyaman
Salah satu peserta Webinar Pemberdayaan Perempuan di Bidang Ekonomi yang diselenggarakan Srikandi Lintas Iman (Srili) pada awal pandemi lalu tiba- tiba open camera, kemudian mengeluarkan penisnya saat zoom berlangsung. Para peserta kemudian ramai berkomentar di room chat, kaget tentu, kemudian segera memberikan pesan untuk host juga panitia yang bertugas untuk segera mengeluarkan peserta yang membuat sebagian besar peserta lainnya merasa tidak nyaman. Namun, setelah dikeluarkan pada webinar tersebut, pelaku kemudian masuk kembali ke zoom dan kembali berulah dengan nama atau akun yang berbeda. “Dulu kan kita masih awam banget ya soal zoom, jadi ya belum tau bagaimana menanganinya,” ucap Arina yang saat ini menjabat sebagai Sekertaris Srili.
Tidak hanya terjadi sekali, menurut Arina pada Agustus 2021 kejadian serupa kembali dialami Srikandi Lintas Iman (Srili) yang merupakan Komunitas Perempuan Lintas Iman. Pada webinar yang membahas keamanan digital yang diisi oleh Anita Wahid salah satu peserta tiba- tiba open camera dan menggambar hal tidak senonoh sehingga membuat beberapa peserta yang melihat merasa syok dan tidak nyaman. “Karena pelajaran dari kejadian sebelumnya, kita tuh udah mencoba memprotect gitu loh buat yang bisa mengakses zoom itu hanya orang yang daftar kayak gitu. Terus kamera hanya kita khususkan untuk pembicara aja,” Arina menjelaskan. Untuk terhindar dari KBGO yang salah satunya pelecehan yang terjadi bahkan di zoom atau ruang publik daring, Arina yang juga berprofesi sebagai dosen komunikasi menekankan perlunya mempelajari masalah privasi di media online, apalagi perempuan termasuk yang paling rentan menjadi korban dalam hal ini. Untuk di Srili sendiri rasanya perlu pelatihan yang membahas tentang KBGO.
Ivy selaku aktivis perempuan lintas iman yang juga sebelumnya menjabat sebagai koordinator tim media Srili menambahkan mengingat saat ini segala aktivitas kita hampir sebagian tidak terlepas dari ruang daring, cukup berinteraksi seperlunya atau hanya ketika ada yang harus dikomunikasikan dengan follower, friend, atau siapapun yang ada di media sosial. []