Oleh : Rose Merry Indrasari

Diskriminasi terhadap perempuan sangat mungkin dikatakan sebagai konsekuensi dari sistem patriarki yang dikuasai laki-laki. Namun, dalam kenyataannya, perempuan juga bisa berkontribusi dalam memperkuat patriarki melalui fenomena yang dikenal sebagai internalized misogyny. Hal tersebut terjadi ketika perempuan, baik secara sadar maupun tidak, mengadopsi nilai-nilai patriarki dan menggunakannya untuk menilai atau merendahkan perempuan lainnya.
Merespons International Women’s Day lalu, tanggal 9 Maret 2025, Srikandi Lintas Iman (SRILI) mengadakan kajian yang mengupas sistem patriarki yang menjadi akar dari persoalan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Diskusi yang berlangsung di Syantikara Youth Centre tersebut, memperbincangkan patriarki dengan segala eksesnya, termasuk misogini terinternalisasi yang tanpa disadari terjadi di sekitar kita.
Fenomena ini menjadi tantangan penting dalam upaya mencapai kesetaraan gender. Terutama ketika perempuan justru memperkuat struktur patriarki dengan menilai sesama perempuan berdasarkan standar yang seksis. Lama kelamaan, hal ini diyakini bisa menghambat kemajuan gerakan feminisme dan memperkuat ketidaksetaraan gender.
Dalam diskusi yang berlangsung seru itu, teman-teman Srili saling mengulas hubungan antara patriarki dan misogini terinternalisasi, berbagai bentuk konflik antar perempuan, dampaknya, serta cara-cara untuk mengatasi fenomena ini. Dan, tentu saja sekaligus memperkuat solidaritas perempuan.
Diskusi dipantik Indah Listyorini, salah satu anggota Srili dengan pertanyaan pertama yang merefleksikan kembali “Apa itu patriarki?” Peserta yang hadir sepakat bahwa patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam keluarga, politik, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian sistem ini menempatkan perempuan pada posisi subordinat, menghambat mereka dalam memperoleh hak yang setara dengan laki-laki.
Pertanyaan berikutnya adalah “Apa itu internalized misogyny/misogini terinternalisasi?” Dari paparan diperoleh, pengertiannya adalah perilaku atau sikap yang terjadi ketika perempuan menginternalisasi nilai-nilai patriarki dan menerapkannya dalam kehidupan mereka sendiri, dengan cara-cara menghakimi perempuan lain berdasarkan standar patriarki. Semisal dengan menyebut perempuan lain “murahan” hanya karena pilihan pakaian mereka atau menyebut pelakor ketika terjadi kasus perselingkuhan dan menyalahkannya secara membabi buta.
Perlakuan macam itu terus bergulir tanpa disadari, yang lalu seolah memperkuat norma yang menekan perempuan, seperti menganggap perempuan yang belum menikah sebagai perempuan yang tidak laku, atau ketika perempuan bercerai dianggap sebagai “janda genit”. Bahkan, ada juga yang membatasi diri sendiri, misalnya dengan menginternalisasi keyakinan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin atau mengambil keputusan besar, perempuan harus “melayani” dan tunduk pada suami, dan seterusnya.
Keseruan diskusi terus berlanjut, dengan membahas bagaimana akhirnya fenomena perempuan melawan perempuan muncul dalam berbagai bentuk yang kadang dinormalisasi sebagai sesuatu, dan dianggap wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
Bentuk-bentuk misogini terinternalisasi demikian, bisa kita lihat di sekitar, antara lain:
- Penghakiman terhadap pilihan perempuan lain.
- Ketika perempuan menghakimi perempuan lain berdasarkan norma patriarki, misal menganggap perempuan yang memilih berkarier daripada menjadi ibu rumah tangga sebagai sikap “egois”. Hal lain, mengolok-olok perempuan yang mengenakan pakaian tertentu sebagai “tidak bermoral” karena tidak sesuai norma yang ada.
- Tanpa disadari perempuan menjadi agen patriarki dalam keluarga.
- Umumnya, dari generasi yang lebih tua, tidak sadar menjadi agen patriarki dengan meneruskan norma-norma yang memberi pressure kepada perempuan, seperti: menekan anak perempuan untuk menikah muda, menekan perempuan mengutamakan keluarga di atas pendidikan atau karier atau mengajarkan bahwa perempuan harus selalu “mengalah” dalam pernikahan, meskipun berada dalam hubungan yang tidak sehat.
- Rivalitas dan kompetisi tidak sehat antarperempuan
- Dalam banyak lingkungan kerja atau sosial, perempuan sering kali diposisikan untuk bersaing satu sama lain, misalnya menganggap keberhasilan perempuan lain sebagai ancaman, bukan seharusnya dijadikan inspirasi. Selain itu, juga kerap tidak memberi dukungan kepada sesama perempuan untuk naik ke posisi kepemimpinan karena merasa posisi perempuan terbatas.
- Seksisme dalam politik dan kepemimpinan
- Di dunia politik atau organisasi, fakta di lapangan menunjukkan perempuan justru mengkritik sesama perempuan lebih keras daripada laki-laki. Misalnya menganggap pemimpin perempuan kurang kompeten dibandingkan laki-laki hanya karena mereka perempuan atau tidak memberikan dukungan terhadap kandidat perempuan dalam pemilu karena merasa perempuan tidak cocok menjadi pemimpin.
Dari berbagai bentuk misogini terinternalisasi seperti di atas, tentu saja dampaknya akan kembali pada perempuan jika kemudian tidak diatasi. Sebab, selama perempuan memperkuat nilai-nilai misoginis justru hal itulah yang akan memperlambat perjuangan kesetaraan gender.
Dampak negatif yang selanjutnya dapat memperkuat budaya patriarki adalah ketika perempuan sendiri mendukung norma-norma yang menekan mereka; termasuk menghambat solidaritas perempuan.
Persaingan yang tidak sehat antarperempuan tentu saja membuat mereka sulit untuk bersatu dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Hal negatif lainnya adalah ketika ketidakpercayaan diri perempuan makin meningkat. Perempuan yang terus-menerus dikritik sesama perempuan cenderung mengalami penurunan rasa percaya diri, yang berpengaruh pada keputusan mereka dalam kehidupan pribadi dan profesional. Selain itu juga menghambat karier perempuan. Bagaimana mungkin ada kesempatan mereka untuk mendapatkan posisi kepemimpinan, sewaktu perempuan tidak saling mendukung dalam dunia kerja.
Pada akhir sesi kita diajak untuk bersama menemukenali cara mengatasi misogini terinternalisasi yang telah tertanam dalam budaya patriarki selama berabad-abad.
Dari refleksi setiap pengalaman ketubuhan perempuan, peserta diskusi sepakat bahwa yang harus diupayakan adalah meningkatkan kesadaran diri, apakah mereka memiliki bias seksis terhadap perempuan lain.
Dimulai dengan bertanya kepada diri sendiri: apakah saya pernah menghakimi perempuan lain berdasarkan standar patriarki? Apakah saya pernah merasa lebih baik dari perempuan lain hanya karena pilihan hidup mereka berbeda dengan saya?
Lalu mulailah membangun dan memperkuat solidaritas antarperempuan; Daripada melihat perempuan lain sebagai pesaing, penting untuk membangun solidaritas dan mendukung satu sama lain, misalnya dengan mendukung perempuan dalam dunia kerja dan kepemimpinan atau menyebarkan narasi positif tentang perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dan, yang terpenting mengedukasi diri dan orang lain tentang feminisme; bukan tentang melawan laki-laki, tetapi juga tentang melawan norma-norma patriarki yang merugikan perempuan, termasuk yang dilakukan oleh perempuan sendiri. Karena, bagaimana pun juga meningkatkan pemahaman tentang feminisme dapat membantu perempuan menghindari sikap seksis terhadap sesama perempuan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mendorong perubahan sosial melalui media dan pendidikan. Media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat bagaiamana mengkritisi representasi perempuan dan memperkuat rivalitas serta standar ganda terhadap perempuan. Maka melalui pendidikan sejak dini atau dalam pengasuhan, ibu dan ayah berkesempatan mengajarkan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihan hidup mereka tanpa dikotak-kotakkan oleh gender.
Terakhir dan yang paling menantang sebenarnya, menentang narasi patriarki dalam keluarga dan masyarakat; Jika ada anggota keluarga atau teman perempuan yang masih memiliki pandangan seksis terhadap perempuan lain, cobalah untuk mengajak diskusi dan memberikan perspektif baru.
Upaya-upaya tersebut tentunya diharapkan akan berujung hasil dimana perempuan bisa saling mendukung. Bukan saling menjatuhkan, agar perjuangan menuju kesetaraan gender dapat terus maju dan menghasilkan perubahan yang nyata dalam masyarakat.