Refleksi Perempuan dalam Politik Indonesia : Suksesi Istri atau Politik Perempuan Sungguhan

Oleh Tim Redaksi

“7 Istri Bupati dan Mantan Kepala Daerah di Sulsel Berebut Kursi DPR RI, Dua Wanita Toraja”

Sebuah headline di media lokal Sulawesi menarik perhatian kitaDi awal tulisan, penulis segera memberi highlight faktor penyebabnya dengan sedemikian lugas. Terkesan para perempuan ini ingin menggantikan suami, tak mau kehilangan posisi karena masih memiliki basis massa kuat, dan didukung dana pula

Kalimat sederhananya, cuan menjadikan enggan berpaling dari posisi mereka saat ini.

Pada berita yang lain, aroma kompetisi malah diembuskan.

Keras! Suami-Istri Rebutan Kursi DPRD Klungkung pada Pileg 2024.

Ketika muncul hasilnya kemudian, sang istri yang mewakili partai yang berbeda malah melampaui jauh daripada suami yang berposisi petahana dari partai berbeda. Hasil paling mutakhir, keduanya sama-sama tidak bisa lolos menjadi anggota dewan karena bersaing pada daerah pemilihan (dapil) yang sama.

Apa sih yang menyebabkan para perempuan itu demikian gigih hendak berada di kedudukan suami, atau menggantikannya dalam ranah politik?

Menyeberang jauh ke negara adidaya, dalam sejarah politik di Amerika Serikat, publik mengenal kondisi bernama suksesi janda. Istilahnya cukup provokatif menurut saya. Namun, bacalah kemudian kondisi yang mencetus istilah tersebut. Saya sarikan kisahnya dari laman capitalhistory.org.

Mundur ke tahun 1922, Mae Ella Nolan (R-CA), menggantikan posisi mendiang suaminya John Ignatius Nolan.

Konon, setelah kematian John, pemimpin setempat mendekati Mae Ella untuk mengambil alih posisi yang disandang suaminya. Perempuan ini tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia memanfaatkan platform politik yang telah tersedia untuk mengadvokasi kepentingan buruh dan melonggarkan undang-undang periode percobaan kerja.  

Hanya sebulan setelah suaminya wafat, Mae Ella menang dalam pemilihan, maju ke konggres yang ke-67. Kutipannya yang terkenal saat itu, Saya berutang kenangan untuk melanjutkan kerja suami saya. Anggaran tunjangan minimum pekerja, aturan hukum tentang pekerja anak, dan anggaran pendidikan nasional, hanya bisa diupayakan oleh orang yang mengenalnya dengan baik, dan mengetahui rencana-rencananya secara personal dalam agenda legislatif.”

Dalam kerja yang dilakukannya, Mae Ella Nolan mencapai banyak hal. Dia bertugas di Komite Hak Pilih Perempuan. Dia juga perempuan pertama yang memimpin komite konggres pada divisi ekpedisi di Kantor Pos, yang mengupayakan kenaikan dan kelayakan upah bagi para buruh pos.

Membaca sepak terjang Mae Ella Nolan seperti kontras dengan dua headline berita yang saya taruh di awal tulisan ini.

Apakah perempuan Indonesia sedemikian rupa melakukan suksesi hanya demi mempertahankan kenyamanan yang telah diperoleh?

Tulisan Ella Syafputri pada laman Antaranews tahun 2014, cukup menjawab pertanyaan tersebut. Meski kita perlu melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Ongkos politik dalam arti biaya mencalonkan diri, kampanye dan embel-embelnya yang cukup tinggi, berujung bursa pencalonan dari istri atau putri keluarga mapan.

Ella Syafputri, yang sempat mewawancarai salah seorang anggota DPRD yang enggan disebutkan identitasnya, memperoleh jawaban yang menohok.

mereka tidak benar-benar paham apa itu politik dan bagaimana tugasnya di dewan. Mereka terpilih karena mereka anaknya siapa atau istrinya siapa.

Demikian mirisnya, tetapi apa benar demikian?

Ketika saya mengetikkan keyword anggota legislatif perempuan yang berkarya, laman pencarian malah memunculkan headline dan judul yang membahas siapa-siapa saja perempuan cantik dalam bidang politik. Seolah menggiring opini, kalau cantik, enak dipandang, menjadi oke dalam bidang politik. Keahlian, pemahaman, bahkan keikutsertaan dalam bidang politik seolah menjadi nomor sekian.

Sebuah pernyataan Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara yang juga salah satu tokoh dalam film fenomenal Dirty Vote, seolah membongkar kenyataan yang terjadi. Ketika hadir sebagai narasumber webinar Srikandi Lintas Iman, akhir tahun 2023 lalu, fakta di lapangan diungkapkannya.

Keputusan yang jarang melibatkan anggota legislatif perempuan, kesengajaan menangguhkan hasil sidang, dan mengalihkan pada aktivitas hiburan pada larut malam, yang jelas tidak mungkin diikuti anggota legislatif perempuan karena alasan etis dan waktu untuk keluarga, rupanya banyak memojokkan para perempuan ini.

Lalu, apakah sejatinya tak ada politikus perempuan yang telah dan mampu berkiprah?

Ada nama Rieke Diah Pitaloka dan Meutya Hafid yang memiliki sejarah sendiri masuk ke bidang politik.

Dua nama yang cukup kontroversial karena ketika di DPR, mereka berada dalam komisi yang biasa didominasi lelaki. Bukan sekadar diikutsertakan sebagai syarat keterwakilan perempuan.

Rieke yang sebelumnya selebritis memang terbilang vokal. Telah beberapa periode, Oneng dalam sitkom Bajaj Bajuri ini berulangkali menempatkan di berbagai posisi di DPR, dengan vokalitas utama menyuarakan kepentingan buruh.

Menurut laman parapuan, tercatat Rieke pernah menjadi anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tak segan ikut dalam aksi May Day tahun 2018 di Monas (Monumen NasionalJakarta, Rieke hadir memimpin massa sebagai Ketua Umum Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) yang menuntut pemerintah memperhatikan nasib para pekerja agar mendapatkan Tri Layak, yakni Kerja Layak, Upah Layak dan Hidup Layak.

Soal sepak terjang Rieke dalam dunia politik yang sangat maskulin ini tak aman juga dari serangan hoaks. Seperti juga yang dialami Meutya Hafid, rekannya di DPR. Coba saja Anda menelusuri laman pencarian. 

Meutya yang kini Ketua DPP Partai Golkar dan juga Ketua Komisi I DPR RI mengawali karirnya justru sebagai jurnalis. Ketika menjadi reporter Metro TV, bersama kameramen Budiyanto pernah disandera Kelompok Mujahidin Irak selama 168 jam pada tahun 2005.

Peristiwa yang sampai melibatkan upaya diplomasi negara ini, dituliskan menjadi buku. Kerja keras Meutya dalam jurnalistik telah berbuah Penghargaan Jurnalistik Elizabeth O’Neill dari pemerintah Australia.

Ketika masuk ke dalam dunia politik, dia sempat gagal melenggang ke Senayan maupun ke bursa pasangan walikota dan wakil. Namun, ketika Burhanudin Napitupulu politikus Golkar yang pernah memintanya untuk menjadi caleg partai tersebut wafat, Meutya ditunjuk partai menggantikannya mewakili fraksi tersebut di DPR.

Perempuan itu segera menduduki komisi XI (bidang Keuangan dan Perbankan). Di sana dia bertugas selama 17 bulan sebelum akhirnya dipindahkan ke Komisi I (bidang Pertahanan, Luar Negeri, Komunikasi, dan Informasi).

Komisi inilah yang paling sesuai dengan latar belakangnya di media. Dia pun menunaikan tugasnya hingga 2014. Periode selanjutnya melenggang naik menjadi Wakil Ketua Komisi I pada 2014-2019, lalu pada periode 2019-2024, dialah yang menjabat Ketua Komisi I DPR-RI.

Rieke dan Meutya memang tak bisa dibilang sudah sempurna sebagai politikus perempuan. Perbedaannya dengan contoh kasus yang saya sebutkan di awal, sebagai perempuan mereka tak serta merta mencalonkan diri demi melanggengkan kekuasaan suami atau bapaknya.

Keduanya menceburkan diri demi hal yang diperjuangkannya. Entah partai yang diusung, atau suara para buruh yang sering terabaikan. Keberadaan mereka terus di DPR mungkin bisa sebagai bukti, bahwa masih ada yang percaya, yang mereka katakan pada publik (mudah-mudahan) bukan sekadar janji.

Semoga!