Ketika saya merantau ke Jogja enam tahun silam, saya belum punya bekal yang cukup untuk memahami dinamika beragama/berkeyakinan di konteks yang baru.
Berbeda dengan di Alor, Nusa Tenggara Timur. Bertanya tentang agama atau kepercayaan kepada orang lain merupakan hal yang biasa, lumrah dilakukan. Biasanya, pertanyaan itu hampir selalu dilontarkan saat ada sesi makan-makan di suatu acara. Maklum, makanan yang disajikan biasanya dalam bentuk prasmanan dan dibagi berdasarkan halal dan haramnya menurut ajaran agama/kepercayaan di Nusa Tenggara Timur.
Perubahan yang terjadi begitu saja, mengejutkan saya. Tiba-tiba, saya sudah menginternalisasi ide bahwa bertanya tentang agama/kepercayaan orang lain itu besar kemungkinan disebut rasis. Tentu saya jadi serba salah, mempertanyakan diri, takut-takut dalam bersikap.
Lalu, sewaktu mencari indekos di kota Gudeg ini, saya kembali memikirkan apa sih makna toleransi sebenarnya? Sebab cukup sering syarat agama dicantumkan, seperti kos ini khusus agama “A” atau kos itu hanya untuk yang beragama “B” saja.
Hal tersebut terus membuat saya bertanya-tanya. Apakah dengan memasukkan agama atau kepercayaan sebagai syarat berarti memberikan batasan terhadap apa yang boleh dan tidak dilakukan di kos; atau apa?
Sementara, bukankah ajaran agama/kepercayaan apapun adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan? Dalam benak saya, bukankah toleransi sesungguhnya menyambut kebaikan-kebaikan itu? Betapa indahnya jika kebaikan-kebaikan itu senantiasa hadir dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan bersama para perantauan di indekos.
Sempat terlintas di benak saya, bukankah seharusnya para pemilik kos itu belajar dari apa yang terjadi di NTT.
Persentase pemeluk agama di NTT pada tahun 2023, hampir 90% beragama Kristen Katolik dan/atau Kristen Protestan, kemudian 10% adalah pemeluk agama Islam, Hindu, dan Budha. (sumber Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur).
Sementara itu, di Alor sendiri tersebar menjadi 73% pemeluk agama Kristen baik Katolik maupun Protestan, 26% pemeluk agama Islam dan hampir 1% pemeluk agama Hindu.
Tahun 2023, Kementerian Agama wilayah NTT memberitakan di portal websitenya bahwa NTT menjadi peringkat pertama provinsi di Indonesia untuk indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB), dan hasil riset SETARA Institute juga menjelaskan bahwa Kupang-NTT masuk dalam 10 besar kota paling toleran di Indonesia.
Saya mengingat kembali, sejak dahulu, orang-orang tua yang sering disebut tokoh-tokoh adat, juga para tokoh agama di kampung halaman saya, sering sekali mengungkapkan bahwa “kita orang Alor-NTT itu basodara”.
Sesuai dengan semboyan yang menjadi dasar bagi orang-orangnya, yakni, tara miti tomi nuku yang berarti berbeda-beda kedudukan atau status sosial, kita tetap satu hati sebagai manusia.
Analisa saya, mungkin saja itu berhubungan dengan sejarah asal-usul dan identitas orang-orang Alor yang beragam pula. Apapun itu, saya bisa berbangga hati bahwa nilai yang dipercayai orang-orang di Alor ikut memberikan ruang bagi toleransi untuk tumbuh subur di NTT.
Berkaca pada apa yang saya temukan di Yogya dan apa yang saya rasakan ketika di Alor, tak heran bila kita temukan berita di laman digital yang memberitakan kebebasan beragama yang masih sulit didapatkan di Indonesia.
Mengutip hasil riset SETARA Institute, terdapat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) yang terjadi sepanjang tahun 2023. Angka tersebut terus naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah 175 peristiwa dengan 333 tindakan.
Catatan tersebut makin menambah kegelisahan dalam diri saya. Apakah ingatan dan pengalaman toleransi yang tumbuh subur di NTT itu sudah benar-benar terjadi di Indonesia, atau hanya impian dan praktik segelintir orang saja?
Dinamika mencari arti toleransi dalam konteks yang berbeda itu membawa saya pada satu perjumpaan dengan sebuah komunitas perempuan di Yogya. Komunitas lintas iman yang dikenal dengan nama Srikandi Lintas Iman, atau disingkat Srili. Dengan anggotanya perempuan lintas iman, lintas usia, lintas profesi, lintas sosial budaya; tetapi kompak berkolaborasi internal maupun eksternal.
Pertanyaan “Apa arti toleransi?” (setidaknya bagi saya) menjadi terjawab saat pertemuan pertama dengan para perempuan yang berbeda latar belakang di Masjid Fadhli Umar (tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah) pada tahun 2023. Entah dari suasana akrab yang ketika itu terbangun, atau ruang aman yang terasa meski kita berbeda-beda, wajah “Alor” kampung halaman saya, nun jauh di NTT itu seketika terasa dekat.
Mudah sekali pertanyaan-pertanyaan tentang agama/kepercayaan itu dibicarakan bersama tanpa takut dituduh memiliki niat hati yang buruk. Kalau ada kata-kata yang keliru, para perempuan yang sungguh tepat disebut srikandi ini berbaik hati memberitahukan untuk saling belajar bersama melalui dialog.
Bila pengertian toleransi menurut KBBI, dijelaskan sebagai sifat atau sikap toleran (dalam perbedaan). Sementara itu, toleran sendiri merupakan kata sifat yang berarti memiliki sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Saya membayangkan hal ini seperti, pertama-tama, belajar untuk menyayangi orang lain sebagai manusia, seperti ajaran yang diajarkan orang-orang tua sewaktu saya di Alor.
Lalu, hal kedua, syarat agama seharusnya tidak menjadi hal prinsipil untuk mendapatkan tempat tinggal, sebab kepercayaan dan rasa aman patut diberikan kepada sesama manusia. Hal inilah yang dicontohkan para anggota Srikandi Lintas Iman Yogyakarta yang mau percaya dan mengajak untuk tumbuh bersama dalam dialog.
Srikandi Lintas Iman pada akhirnya memberi saya harapan bahwa benih toleransi itu sesungguhnya nyata adanya, sekalipun kamu berbeda. Baik saya dengan ke-”Alor”-an saya, atau saya dengan ke-”Yogya”-an yang saya jumpai di sini, sama-sama adalah tanah yang dapat ditanam dengan benih toleransi.
Selama seseorang memiliki kemauan untuk belajar pada konteks di mana ia berada, bersabar untuk menanam dan merawat, niscaya akan tiba waktunya untuk bertumbuh dan menuai. Seperti pengertian kedua dari kata toleran dalam KBBI, yakni, “bersifat terus tumbuh walaupun dalam keadaan tertekan oleh pohon yang lain”.
“Tapi ini bukan tentang pohon, bukan?”