Tarik Menarik antara Idealisme dan Realitas di tengah Perubahan Zaman

Oleh: Ine Wulandari

Ketertarikan saya membeli buku Ulid karena pernah membaca novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan. Ceritanya melekat dan berkesan, terutama tentang persinggungan NU dan Muhammadiyah serta penggambaran tradisi masyarakat yang sangat kaya. Pengalaman membaca itu membuat saya tertarik menelusuri karya Mahfud lainnya, dan berujung menemukan Ulid.

Saat mulai membaca Ulid, sejujurnya, kesan saya agak membosankan. Narasi yang terlalu deskriptif dengan paragraf panjang membuat alurnya terasa monoton. Saya sempat berhenti sejenak. Namun, beberapa waktu lalu, saya kembali teringat pada novel Ulid-yang pernah saya baca dulu, terutama karena kerinduan saya membaca cerita tentang kehidupan desa di era 1990-an.

Sesungguhnya ada keresahan pribadi juga yang mendorong saya kembali ke novel ini. Kehidupan modern yang serba cepat dan kemudahan yang ditawarkan teknologi, terutama media sosial, seringkali membuat saya merasa kehilangan kendali. Ketika merasa kecanduan IG atau YouTube, misalnya, saya menyadari ada sesuatu yang salah. Novel Ulid saya harap bisa menjadi distraksi yang tepat.

Apakah upaya ini berhasil? Ya, cukup berhasil. Terlebih setelah menonton film The Social Dilemma yang menegaskan bahaya teknologi yang tidak bisa manusia kendalikan. Membaca Ulid memberi saya kesempatan untuk memilih kembali fokus pada hal-hal yang (mudah-mudahan) lebih bermakna.

Namun, membaca novel ini tetap butuh perjuangan. Penyampaiannya kadang berbelit, dan pada beberapa bagian, konfliknya terasa kurang greget. Meskipun begitu, saya berusaha bertahan hingga akhir, yang terbantu dengan alur cerita yang cukup stabil. Malah tidak meloncat-loncat seperti beberapa drama Korea yang umum saya tonton. Ketika akhirnya lulus membaca, saya menyadari bahwa dilema yang digambarkan dalam novel ini masih relevan dengan kehidupan modern.

Kisah di Dalam Ulid

Tokoh utama dalam novel ini, sesuai judulnya, adalah Ulid, seorang pemuda yang memiliki jiwa pembelajar, tetapi harus menghadapi realitas kehidupan keluarga yang terbatas secara ekonomi dalam perjalanan hidupnya. Ceritanya runut sejak Ulid kecil hingga ia dewasa. Dalam perjalanan itu, Mahfud Ikhwan mampu menyisipkan berbagai isu yang masih relevan hingga hari ini.

Lerok, desa tempat tinggal Ulid, adalah gambaran kehidupan pedesaan pada masa itu. Penduduknya sebagian besar adalah petani bengkuang dan penghasil gamping. Ada masa kejayaan di mana pasar untuk hasil bumi mereka masih besar, kondisi listrik belum masuk, dan anak-anak masih bermain di ladang atau menggembala kambing. Kehidupan desa yang sederhana itu terasa menentramkan.

Namun, semuanya berubah ketika bengkuang dan gamping tidak lagi menjadi primadona. Teknologi satu per satu mulai masuk, dari TV hingga listrik PLN, yang membawa perubahan besar bagi Lerok. Masyarakat pun beralih mencari pekerjaan lain, dan minat merantau ke Malaysia menjadi solusi populer untuk mengatasi persoalan ekonomi saat itu.

“Lalu tahun ini masuklah PLN. Televisi semakin banyak saja. Mungkin sudah lebih dari tiga puluhan. Sehabis hari raya nanti, aku yakin, jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat dari itu. Terus, kau lihat sendiri ‘kan tadi, yang lewat di jalan tadi. Tidak sedikit bocah yang pegang sepeda motor sendiri. Zamanku, jangankan motor, sepeda saja paling satu atau dua yang punya. Itu pun bolehnya paling dipakai untuk ke sekolah sama untuk cari rumput…” (Ikhwan: 2021: 306-307).

Berdasarkan kutipan tersebut, novel ini menggambarkan perubahan sosial yang realistis. Di tengah kehidupan yang terus berubah, harapan seringkali tidak sejalan dengan realitas.

Perjuangan keluarga Ulid sendiri, kemudian menjadi sorotan yang menginspirasi. Di saat masyarakat Lerok mulai tergoda membeli barang mewah, keluarga Ulid memprioritaskan pendidikan. Hal inilah yang akhirnya membentuk pemuda itu menjadi pribadi yang berpikir jernih dan tangguh.

Di sisi lain, kita bisa melihat, perjuangan Ulid tak semudah dan seideal yang diimpikan. Meski ia memiliki jiwa pembelajar yang membuatnya terus berusaha, ia mau tak mau tetap menghadapi kebijakan, kekuasaan, dan budaya masyarakat yang cenderung materialistis. Realitas ini memaksanya untuk beradaptasi dengan perubahan, meskipun ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsipnya.

Relevansi dengan Kehidupan Modern

Apa yang terjadi di Lerok bukanlah cerita lama yang sudah usang. Desa-desa di Indonesia saat ini menghadapi tantangan serupa. Tradisi dan budaya lokal tergerus oleh teknologi digital yang menawarkan kecepatan, kemudahan, dan kecanggihan. Gaya hidup serba instan menjadi pilihan yang sulit dihindari. Ekonomi, keuntungan, dan pasar menjadi tumpuan utama. Di sinilah dilema terjadi: apakah lalu kita, manusia-manusia zaman sekarang; mengejar kebutuhan hidup atau terjebak dalam gaya hidup?

Perubahan besar di masyarakat Lerok dimulai dari perubahan kecil yang dilakukan secara kolektif. Sayangnya, orientasi masyarakat seringkali lebih terarah pada nilai material dibandingkan nilai substansial. Perjuangan Ulid untuk mengembangkan ide-ide lokal seperti budidaya bengkuang tidak mendapat dukungan sebesar arus ide dominan, salah satunya yang populer, merantau ke Malaysia.

Membaca Ulid sungguh membuat saya banyak belajar. Perjuangannya adalah cerminan dilema idealisme dan realitas yang sering kita hadapi. Dunia yang terus berkembang dengan teknologi tidak bisa kita hindari, tetapi mampukah kita bijak menghadapinya? Apakah “kemudahan” dan “murahnya” teknologi benar-benar memberikan nilai tambah? Ataukah justru membuat kita kehilangan kendali atas hidup kita?

Apalagi jika kita melihat bahwa kendali tidak hanya datang dari teknologi, tetapi juga pemerintah yang mempunyai kekuasaan. Relasi kuasa yang seringkali timpang dalam masyarakat membuat kebijakan-kebijakan yang dicanangkan tidak selalu memprioritaskan kepentingan publik. Dengan demikian, sebagai warga yang berdaya sekaligus kritis, apakah kita mampu mengawal setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah? Apalagi jika kebijakan tersebut hanya menguntungkan beberapa pihak dan rentan terhadap penyelewengan.

Seperti Ulid, kita membutuhkan kerja sama dan kolaborasi untuk melawan arus kemajuan yang tidak senantiasa sehat. Perubahan besar perlu dimulai dari langkah kecil yang dilakukan bersama. Misalnya, bagaimana menjaga nilai-nilai substansial agar tetap hidup di tengah godaan dunia yang serba instan dan materialistis.

Ulid mengajarkan bahwa setiap harapan dan perjuangan tidak pernah sia-sia, meski kadang hasilnya tak seperti yang kita bayangkan. Mumpung, masih awal tahun 2025, yuk, kita jaga keseimbangan antara idealisme dan realitas, dan tetap memilih jalan yang mendekatkan kita pada makna hidup yang sebenarnya.