Refleksi Kemerdekaan dan Beban Ganda Perempuan Ahmadiyah di Ruang Publik 

Oleh Nuraini Chaniago

Pada bulan Juli lalu, saya bersama seorang teman berkesempatan mengunjungi kantor pusat Jemaah Ahmadiyah Indonesia, yang berada di Parung, Bogor, Jawa Barat.

Kunjungan saya kali ini, sebenarnya dalam rangka penelitian yang sedang kami lakukan. Tentang Jemaah Ahmadiyah Indonesia dengan hak-hak sosial politiknya sebagai warganegara Indonesia.

Ahmadiyah merupakan suatu organisasi kerohanian yang berbadan hukum, yang memiliki beberapa penafsiran yang berbeda tentang kenabian dengan umat Islam pada umumnya.

Terlepas dari semua perbedaan penafsiran tersebut, sejak mengenal teman-teman Ahmadiyah dengan lebih dekat, saya melihat praktik Islam yang begitu indah yang diterapkan oleh Jemaah Ahmadiyah dalam banyak hal.

Salah satunya tentang nilai-nilai perdamaian, kebersihan, saling menyayangi diantara sesama, saling berbagi dalam kebaikan, sedekah. Dari banyak hal lainnya dari ajaran Islam yang selalu mereka praktekkan, sesungguhnya sama dengan ajaran Islam yang selalu ingin saya praktekkan, tanpa mengedepankan simbolitas keagamaan.

Perjumpaan saya secara lebih dekat, dengan Jemaah Ahmadiyah pertama terjadi sekitar tahun 2020 lalu. Kami bersama-sama melakukan berbagai kegiatan-kegiatan kemanusiaan mengusung isu perdamaian, toleransi, dan kepemudaan.

Kesan pertama ketika menginjakkan kaki di kediaman teman-teman Ahmadiyah adalah kebersihan lingkungannya yang selalu terjaga, dan inipun selalu saya jumpai di lingkungan Ahmadiyah-Ahmadiyah lainnya di berbagai daerah.

Selama kedekatan kami terjalin, dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang kami lakukan, tidak pernah sedikit pun teman-teman Ahmadiyah memaksakan ajarannya kepada orang lain. Apalagi harus menjadi bagian dari penafsiran yang sama dengan apa yang mereka pahami.

Bahkan diantara kita selalu terjalin kerja sama, saling membantu, dan saling menghormati satu sama lain tanpa memaksakan kepercayaan masing-masing

Sebagai salah satu negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, juga merupakan sebuah negara yang multikultural, Indonesia tak bisa menampik adanya perbedaan suku, budaya, agama, bahasa, warna kulit, dan lain sebagainya.

Dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, perbedaan yang ada dalam tubuh Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang harus kita rawat atas nama kemanusiaan. Tentu dengan tujuan yang satu, yaitu menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Selain mengakui enam agama besar, Indonesia juga memiliki dua organisasi masyarakat yang menjadi poros Islam Indonesia dalam praktik keberagamaannya, yaitu, Muhammadiyyah dan Nahdatul Ulama (NU).

Di samping itu, masih banyak agama-agama ataupun kepercayaan-kepercayaan lainnya yang dianut oleh masyarakat Indonesia, baik di kota-kota besar maupun masyarakat adat sendiri. Salah satunya Ahmadiyah.

Kunjungan saya ke teman-teman Ahmadiyah merupakan kesempatan baik untuk mengkonfirmasi banyak hal tentang Ahmadiyah yang sudah berkembang di masyarakat pada umumnya.

Kami berdiskusi dengan para pemimpin Jemaah Ahmadiyah yang ada disana, berkunjung ke berbagai pusat kegiatan jemaah, salah satunya kantor para perempuan Ahmadiyah melakukan aktivitas internal maupun eksternal dalam pemberdayaan diri.

Selama perjumpaan dan berdiskusi dengan para ibu Ahmadiyah, banyak hal yang saya dapatkan dari cerita-cerita mereka sebagai perempuan Ahmadiyah. Mereka berjuang dalam banyak hal untuk menjaga eksistensinya sebagai perempuan Ahmadiyah. Apalagi masyarakat di lingkungan sekitar sudah mulai terbuka kepada mereka, walaupun belum semua bisa menerima keberadaannya.

Dari pembicaraan tersebut, saya temukan. Dari berbagai konflik yang dihadapi Jemaah Ahmadiyah sejak tahun 2005 hingga tahun 2000-an, salah satu pihak yang menjadi korban ganda adalah para perempuan Ahmadiyah itu sendiri.

Ketika terjadi tindakan intoleransi dan diskriminasi, para perempuan sering mendapatkan tantangan yang lebih berat ketimbang laki-laki. Karena pada waktu bersamaan mereka juga rentan mengalami kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan fisik, mental, dan seksual.

Hal-hal demikian juga dialami para perempuan Ahmadiyah. Salah satu ibu bercerita kepada saya, bahwa tidak hanya intoleransi yang harus ia hadapi, tetapi juga tantangan mengurus keluarga sebagai kelompok yang termarjinalkan dalam banyak akses sosial dan publik ke masyarakatnya.

Ketika berjuang untuk saling memberdayakan sebagai manusia, perempuan Ahmadiyah menjadi bisa menebarkan manfaat satu sama lain. Pada waktu yang bersamaan, mereka juga harus berjuang membebaskan diri dan keluarganya dari stigma Ahmadiyah yang sesat dan harus dimusnahkan. Hal yang sudah disematkan sejak lama.

Bahkan akses dan perannya di ruang publik masih sangat terbatas dan sering didiskriminasi oleh masyarakat sekitar. Tak jarang para pemangku kepentingan pun ikut andil untuk tidak memberikan hak mereka sebagai masyarakat Indonesia di ruang-ruang publik, hanya karena mereka Ahmadiyah.

Merenungkan semua pengalaman itu, saya memiliki harapan tersendiri untuk ulang tahun Indonesia tahun ini.

Semoga semangat kemerdekaan mampu membuat kita saling berefleksi satu sama lain. Bahwa Indonesia sebagai rumah bersama dengan banyak perbedaan, memiliki satu tujuan yang sama, yaitu Kemanusiaan. Hal ini tidak terkecuali kepada kelompok-kelompok marjinal sekalipun.

Kita memang berbeda. Perbedaan kita juga bukan untuk disamakan, melainkan untuk dirawat bersama dengan nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan.

Mari saling memerdekakan diri, sebagai rakyat Indonesia yang harmonis dalam bingkai kebhinekaan ini.