Ketika Saya Memilih Menjadi Seorang Penghayat

Tidak ada orang yang mau dilanggar haknya, hanya karena ia memilih apa yang diyakininya. Memilih menjadi seorang penghayat kepercayaan adalah hak, yang seharusnya diperlakukan sama dengan penganut agama lainnya.

Kita punya hak untuk memilih

Dessy masih berusia 17 tahun saat memutuskan untuk menjadi seorang penghayat kepercayaan Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM).

Sebelumnya, Dessy seorang Muslim. Setelah lulus SMA, Dessy bekerja di sebuah lembaga di Yogyakarta. Tugasnya adalah mendampingi penghayat kepercayaan. Awalnya Dessy tidak tahu apa itu penghayat kepercayaan. Namun, karena terlibat dalam berbagai kegiatan penghayat kepercayaan, ia menjadi tahu mengenai penghayat kepercayaan.

Dessy pun belajar banyak mengenai penghayat kepercayaan, termasuk belajar bahwa penghayat kepercayaan tidak hanya satu, tapi ada banyak penghayat kepercayaan. Bahkan Dessy sampai memahami bahwa keyakinan seorang itu hanya urusan diri dengan Tuhan.

Dari situ Dessy mulai berpikir kembali mengenai keyakinannya selama ini, sebagai bagian dari pencarian jati dirinya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjadi penghayat kepercayaan pada tahun 2022.

Kita punya hak untuk memilih. Semua pilihan itu saya kembalikan ke diri saya sendiri”, kata Dessy menceritakan prosesnya memilih menjadi penghayat.

Berbeda dengan Dessy, Sekar sudah lama menjadi seorang penghayat. Sekar menjadi seorang penghayat karena keturunan dari orang tuanya. Bahkan buyutnya juga seorang penghayat kepercayaan. Namun, karena tidak diakui oleh negara, maka Sekar memilih agama Islam untuk menjadi agamanya.

Diakui meski didiskriminasi

Sebelum 2016, penghayat kepercayaan tidak diakui negara sebagai bagian dari agama. Meski begitu, penganut penghayat kepercayaan mempunyai himpunan yang menaungi para penganut dalam menjalankan keyakinannya. Organisasi penghayat sendiri memiliki 188 organisasi di pusat dan lebih dari 1000 organisasi cabang di berbagai wilayah di Indonesia dengan sekitar 12 juta penghayat kepercayaan. Dari jumlah itu, sekitar 27 aliran penghayat kepercayaan mengalami kevakuman, karena pendirinya atau guru panutannya telah meninggal dunia.

Berbeda dengan agama-agama yang lebih dulu diakui negara, penghayat kepercayaan sendiri dikenal sebagai agama adat yang mempraktikan kepercayaan leluhur yang berasal dari nenek moyang terdahulu. Ada juga penghayat kepercayaan yang mempraktikan adat dalam perayaan agama utama. Ada penghayat murni, yaitu mereka yang tidak meyakini satu agama pun yang diakui pemerintah. Ada pula penghayat beragama, yaitu pemeluk agama resmi tetapi juga mengaku mengikuti aliran kepercayaan tertentu.

Kalau masyarakat di sekitarku tahunya saya beragama Islam. Tapi ketika di luar, ada yang sudah menganggap bahwa aku penghayat. Ada juga yang menganggap aku Islam dan penghayat”, ungkap Dessy menceritakan mengenai posisi penghayat kepercayaan dalam agama-agama di Indonesia.

Selain itu, karena keberadaannya yang belum diakui negara, sebagian besar penganut penghayat kepercayaan akhirnya memilih agama untuk dicantumkan di kolom KTP-nya. Hingga akhirnya beberapa penganut kepercayaan mengajukan pengakuan penghayat kepercayaan sebagai bagian dari agama dan terbitlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan, yang memperbolehkan penganut penghayat kepercayaan dapat mencantumkan keyakinan mereka dalam kartu identitas atau KTP dan kartu keluarga.

Kamu menganut agama apa? Kamu punya Tuhan enggak?

Awalnya Sekar belum berani menunjukkan identitasnya sebagai seorang penghayat, hingga akhirnya orangtuanya menyarankannya untuk pergi ke Yogyakarta. “Coba aja kamu ke Jogja, barangkali lingkungannya di sana lebih nyaman karena banyak penghayat yang lain”, kata Sekar mengingat kembali saran orangtuanya.

Akhirnya mengikuti saran orangtuanya untuk pergi ke Yogyakarta. Setelah beberapa bulan di Yogyakarta, ia pun akhirnya berani memutuskan untuk mengganti kolom agama di KTP-nya menjadi kepercayaan. Sekar Dwi Yulianti, Penghayat Kebatinan Sapta Darma

Suatu hari Sekar pulang ke rumahnya di Cirebon. Ia bertemu dengan tetangganya. Tetangganya pun bertanya ke Sekar, mengapa Sekar sekarang tidak memakai kerudung. Ia pun pelan-pelan menjelaskan bahwa ia telah pindah ke penghayat kepercayaan. Namun, jawaban dari tetangganya membuatnya terdiam.

Mereka tanya, kepercayaan itu apa sih? Emang ada di Indonesia? Kamu jangan aneh-aneh! Kamu menganut agama apa? Kamu punya Tuhan, enggak?

Hal serupa juga dialami oleh Lilin. Lilin memilih menjadi seorang Penghayat Kepercayaan Paguyuban Angudi Bawonototo Lahir Batin setelah sebelumnya, ia melihat ibunya sering pergi tengah malam untuk beribadah. Lilin pun merasa tertarik, terlebih baginya, dengan menjadi seorang penghayat kepercayaan berarti juga melestarikan agama lokal di Indonesia. Walaupun begitu, Lilin tidak terlalu menunjukkan identitasnya sebagai seorang penghayat kepercayaan. Baginya hal itu menjadi faktor dia bisa “aman-aman” aja.

Saya tidak terlalu menunjukkan identitas saya sebagai Penghayat Kepercayaan, mungkin itu salah satu faktornya kenapa saya juga bisa aman-aman (dari diskriminasi) saja. Tapi saya penghayat kepercayaan lho, saya ikut melestarikan agama lokal juga.

Keengganan Sekar dan Lilin untuk menunjukkan identitasnya sebagai penghayat kepercayaan salah satunya karena masyarakat masih menganggap penghayat kepercayaan sesuatu yang aneh. Banyak dari masyarakat yang masih mempertanyakan mengenai Penghayat Kepercayaan. Bahkan, beberapa orang menganggap penganut Penghayat Kepercayaan sebagai orang yang tidak memiliki agama.

Saya dijauhi karena saya seorang Penghayat

Selama di Yogyakarta, Sekar pernah bekerja di suatu perusahaan. Saat wawancara kerja, manajernya mempertanyakan mengenai kolom agama di KTP-nya yang tertulis “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Sekar pun menjelaskan bahwa ia seorang penghayat kepercayaan dan manajernya menerimanya.

Manajer itu bilang, yaudah gak apa-apa, yang penting kamu niat kerja”, kata Sekar menceritakan bagaimana tanggapan manajernya mengetahui dirinya sebagai penganut Penghayat.

Namun, suatu siang, Sekar ingin beribadah. Ada keinginan untuk menghadap kepada Tuhan. Ia ingin sekali beribadah di sanggar. Hingga akhirnya, ketika istirahat siang, ia pergi ke sanggar yang jaraknya cukup jauh dari lokasi perusahaannya.

Rasanya tuh pengen ibadah banget. Jadi mau gak mau kan harus ngikutin kata hati saya. Saya pulang ke sanggar dan ibadah di sana”, jelas Sekar.

Tiba-tiba ketika ia kembali ke tempat kerjanya, ia ditanya oleh rekan-rekan kerjanya. “Kamu itu dari mana aja? Kok sampai jam segini baru sampai?, tanya rekannya. Sekar pun menjelaskan bahwa dirinya pergi ke sanggar untuk beribadah.

Namun setelah itu, rekan-rekan kerjanya tahu bahwa Sekar seorang penghayat kepercayaan dan semenjak itu ia merasa dijauhi.

Tidak hanya itu, beberapa kali perlakuan diskriminasi kerap Sekar alami di tempat kerjanya tersebut. Seperti ketika Ramadhan, rekan-rekan kerjanya berpuasa semua. Karena Sekar tidak berpuasa, maka ia disuruh menjalankan tugas diluar jobdesc-nya. Namun giliran Sekar ingin beribadah, ia merasa tidak ada yang membantunya meng-handle jobdesc-nya.

Saya ibadah, kenapa kalian gak menghormati atau ya setidaknya tuh toleran. Semenjak itu udah bener-bener kayak ngerasa dijauhin. Kamu tuh kayak gak cocok di sini,” kata Sekar menceritakan bagaimana perlakuan rekan-rekan kerjanya.

Penghayat Kepercayaan dan Hak untuk berkeyakinan

Sekar, Lilin dan Dessy merupakan satu di antara penghayat kepercayaan yang hanya bisa menaruh harapan pada masyarakat agar mencoba membuka mata terhadap hak berkeyakinan.

Toleransi itu bermakna di manapun orang berada itu diterima. Jangan malah disingkirkan,” begitu harapan Dessy.

Harapan serupa juga yang diinginkan oleh Sekar dan Lilin, ia berharap masyarakat Indonesia bisa lebih menjaga toleransi antar umat beragama dan menjaga nilai-nilai kebudayaan.

Saya berharap masyarakat Indonesia bisa dan mau lebih terbuka terhadap penghayat kepercayaan”