Dari Perbedaan Menuju Kesatuan: Perempuan Lintas Iman dan Strategi Mengelola Konflik untuk Perdamaian Berkelanjutan

Oleh: Ine Wulandari

Sejak 2017, Srikandi Lintas Iman (SRILI) telah berperan aktif dalam mendorong keharmonisan, keamanan, dan perdamaian di tengah masyarakat. Organisasi yang berakar dari kepedulian perempuan lintas iman di Yogyakarta ini, meyakini bahwa partisipasi perempuan adalah kunci tercapainya perdamaian yang berkelanjutan.

Perempuan berperan penting dalam membangun pemulihan ekonomi, kohesi sosial, dan legitimasi politik yang dibutuhkan dalam proses perdamaian yang positif. Dengan demikian, kegiatan pelatihan yang bertemakan “Peningkatan Kapasitas Perempuan Lintas Iman dalam Mengelola Konflik dan Mewujudkan Perdamaian” diselenggarakan lagi oleh Srili, bekerjasama dengan Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP) UKDW.

Pelatihan tahap pertama berlangsung pada Sabtu-Minggu, 12-13 Oktober 2024, bertempat di Hotel Museum Batik, Yogyakarta. Dalam kegiatan ini, peserta terdiri dari 20 perempuan berbagai usia. Sebagian anggota SRILI, sebagian lagi perwakilan dari berbagai komunitas lintas iman yang memenuhi undangan untuk mengikuti kegiatan ini.

Sesi pertama pelatihan dibuka dengan menarik, melalui pertanyaan reflektif oleh fasilitator, “Siapakah kamu?” Peserta yang berkumpul di ruang pertemuan Hotel Museum Batik secara bergantian merespons pertanyaan tersebut dengan menyebutkan nama sekaligus identitas seperti: saya adalah seorang perempuan (gender), saya berasal dari (suku), dst.

Kemudian, Dwi Sakti sebagai fasilitator mempertanyakan mengenai identitas hakiki yang menggambarkan seseorang. Pada akhirnya, identitas tersebut bertumpu pada kata “manusia”, sesuatu yang melekat dan tidak tergantikan.

Di sesi kedua pelatihan yang membahas mengenai “Pemahaman tentang Konflik”, fasilitator menggali pengetahuan peserta mengenai pengertian dan jenis-jenis konflik. Beberapa peserta melontarkan pendapat, bahkan pengalaman personal mereka ketika menjadi saksi berbagai konflik di ranah keluarga, agama, dan gender yang terjadi di kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, fasilitator memantik kembali dengan memberi pertanyaan, “Apa bedanya konflik dengan kekerasan?” Akhirnya disepakati definisi, konflik merupakan situasi tidak nyaman yang dapat berujung pada kekerasan, bisa juga tidak.

Sedangkan, kekerasan seringkali berawal dari konflik yang dapat menimbulkan dampak fisik dan atau psikologis.

Konflik tidak selalu berakhir negatif, bergantung pada penyikapan terhadap situasi tersebut. Dengan demikian, dibutuhkan manajemen konflik yang tepat.

Disimpulkan juga bahwa sumber konflik dapat berasal dari pola komunikasi, keyakinan/paradigma, kepentingan, dan sumber daya material tertentu. Sumber konflik tersebut memengaruhi jenis gaya setiap individu dalam meresponsnya.

Ada yang mempunyai kecenderungan untuk menghindar, ada yang berkompromi, bahkan ada yang berkompetisi, atau bersikap agresif.

Nah, di sesi ini peserta yang berjumlah 20 orang dibagi tiga kelompok untuk membuat studi kasus konflik sekaligus menentukan gaya dalam menghadapinya.

Salah satu kelompok mengungkapkan sebuah konflik yang terjadi di bidang pendidikan. Konflik tersebut dialami oleh guru ASN yang dituntut oleh kebijakan pemerintah untuk mengikuti beragam pelatihan/webinar berbayar dengan target tertentu. Jika tidak memenuhinya, maka akan dikenai sanksi berupa pemotongan gaji.

Konflik tersebut menuai berbagai kontroversi dan sudah pernah sampai pada audiensi dengan pihak pemerintah. Namun, hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, kebijakan tetap berjalan, sehingga yang dapat dilakukan untuk merespon konflik tersebut adalah dengan berkompromi.

Fasilitator kedua, dari Srili juga, Fitri Yani, memaparkan materi mengenai pengelolaan konflik yang terdiri dari beberapa jenis, seperti Koersi, Arbitrase, Mediasi, dan Negosiasi. Koersi bersifat kuat dan menekan sehingga pengambilan keputusan cenderung satu arah. Sementara, arbitrase melibatkan pihak ketiga yang memiliki kuasa dan hasil keputusannya mengikat.

Untuk pengelolaan konflik berbentuk Mediasi, hal ini melibatkan pihak yang ditunjuk oleh kedua belah pihak yang sedang berkonflik, tetapi tidak selalu melahirkan sebuah kesepakatan.

Sedangkan, bentuk negosiasi merupakan pengelolaan konflik dengan menjembatani orang yang sedang berkonflik melalui berdialog untuk mencari solusi bersama.

Dalam sesi kali ini, fasilitator banyak menggali diskusi dengan peserta melalui contoh studi kasus dari masing-masing cara pengelolaan konflik yang sudah dipaparkan.

Menginjak sesi malam hari, materi yang dipaparkan oleh Hendra Sigalingging dari UKDW dan Nana Karolina, salah satu pengurus Srili Yogya, berkaitan dengan Life Journey, yaitu Perjalanan Mengenal Diri.

Materi kali ini membawa para peserta untuk berefleksi secara personal terhadap dirinya sendiri. Masing-masing dari peserta diminta untuk menggambar bintang dengan 5 sudut dan menuliskan prioritas peran (berupa identitas) yang paling dominan dalam dirinya. Ada yang menulis sebagai: manusia, muslim, perempuan, anak, ibu, dst. Beberapa peserta menjelaskan latar belakang pemilihan peran-peran prioritas tersebut.

Fasilitator meresponnya dengan menambahkan penjelasan bahwa pada hakikatnya, manusia itu multinarasi. Narasi tersebut dibawa dan dipengaruhi oleh berbagai peran yang dijalani sehingga menciptakan seseorang dengan beragam identitas. Dengan demikian, manusia akan kesulitan ketika ada tuntutan untuk multitasking.

Pengenalan diri ini pada hakikatnya merupakan dasar atau proses awal dalam rekonsiliasi konflik. Sebelum menuju ke langkah berikutnya, yaitu mengidentifikasi konflik, observasi, penyelesaian konflik, dan evaluasi.

“Seseorang yang belum mengenal dirinya sendiri akan kesusahan untuk membantu menangani konflik orang lain. Jadi, sebelum mengidentifikasi sebuah konflik, perlu untuk mengidentifikasi diri sendiri,” tambah Hendra.

Di sesi terakhir yang diisi oleh Erin Gayatri dan Endah Setyowati, tema yang diangkat yaitu “Perempuan dan Pengembangan Perdamaian”. Pada sesi ini, fasilitator lebih banyak sharing pengalaman mereka dalam menangani berbagai konflik dan menggali perspektif dari peserta dalam sebuah studi kasus.

Peserta juga diminta untuk melakonkan sebuah mini drama yang mengangkat sebuah konflik di masyarakat. Konflik tersebut bermula ketika di suatu pemukiman terdapat rumah yang sering dipakai untuk kegiatan masyarakat, tetapi kemudian didirikan kos-kosan khusus Muslimah.

Masalahnya (yang kemudian muncul), masyarakat yang berkegiatan di rumah tersebut berasal dari berbagai keyakinan. Konflik pun terjadi antara pemilik kos, pengurus PKK, kelompok pengajian, muda-mudi, perangkat desa, dan warga masyarakat.

Dalam studi kasus tersebut, peserta diminta untuk memerankan tokoh-tokohnya dan menunjukkan sikap sekaligus cara menyelesaikan konflik yang terjadi.

Setelah semua sesi selesai, kegiatan ini ditutup dengan membuat rencana tindak lanjut yang akan dilakukan dengan berkolaborasi antar komunitas. Kolaborasi tersebut dapat berupa seminar, live IG, kegiatan sosial, atau membuat konten media sosial.

Berbagai ide dilontarkan untuk menyalurkan dan menerapkan ilmu yang sudah didapatkan ketika pelatihan. Rencana tindak lanjut penting dilakukan agar pelatihan tidak hanya berhenti pada tataran teoritis saja, tetapi juga merambah ke ranah praktis, sehingga manfaatnya lebih menjangkau publik yang lebih luas.

Harapan jangka panjangnya, perempuan dapat menjadi agen perdamaian bagi dirinya sendiri dan lingkungan di sekitarnya sehingga konflik yang niscaya akan terus terjadi selama kehidupan manusia, dapat dihadapi dengan manajemen yang tepat.