Srili Mengudara dalam Udar Prasangka

Oleh Corinthiani Perbina Sinulingga, Sarjana Filsafat Keilahian, Universitas Kristen Duta Wacana

Mengudara adalah kata yang mengungkapkan sebuah pola yang menyeruak keluar. Bisa berbentuk kepulan kecil atau menyatu menjadi besar dan beterbangan di udara. Mengudara itu berani. Sekali di udara tetap di udara, seperti slogan Radio Republik Indonesia.

Ada gerakan bebas yang membawa sesuatu ke angkasa dan bertujuan bagi beberapa orang, maupun keseluruhan. Sesuatu yang dibawa itu pun bertujuan untuk bisa tetap mengudara. Pemakaian kata mengudara ini juga menjelaskan suatu wadah di mana penulis tune in di dalamnya.

Wadah ini bisa dikatakan sebagai bagian dari empati orang-orang tertentu terhadap maraknya kekerasan berlandas agama. Saya menyebutkan orang-orang tertentu karena tidak semua orang benar-benar ingin tahu bahkan peduli.

Wadah yang dimaksud dalam tulisan ini, tak lain Srikandi Lintas Iman di Yogyakarta. Ruang aman bagi perempuan yang hendak berdialog di dalamnya.

Srikandi Lintas Iman (yang biasa disebut Srili saja) mengudara sejak tahun 2015, dengan fokus keterlibatan perempuan dalam gerakan toleransi dan perdamaian. Melihat Indonesia yang beragam, peran perempuan menjadi penting dalam mengambil tindakan ketika mengalami sikap berbeda, sikap membeda-bedakan saat berinteraksi dengan manusia lainnya.

Kesadaran para perempuan untuk terlibat tentu saja berhadapan langsung dengan prasangka, yang umumnya dilihat sebagai bentuk dari sikap ketidaknyamanan atau ketidaksukaan atau justru kegembiraan akan identitas atau seseorang atau kelompok. Umumnya hal itu disebabkan ketidaktahuan atau berdasarkan rasa yakin pada stereotip yang lahir di tengah masyarakat.

Sederhananya, prasangka itu bersifat cair. Dia dapat berubah menjadi buruk maupun baik saat kita mengetahuinya, tetapi saat kita tidak tahu, ujungnya lebih mungkin terjadi sikap diskriminasi.

Meski prasangka yang dihasilkan tidak selalu buruk tetapi ketika seseorang merasa sudah tahu sebelum mengenal, it is indeed an aroganchy.

Dalam hal ini, penulis menyadari mengapa Srili sendiri menempatkan udar prasangka sebagai awal dari mulainya kegiatan onboarding. Hal ini dikarenakan, setiap orang yang akan terlibat di dalamnya perlu memberi ruang satu sama lain untuk menjadi apa adanya dan mengungkapkan sebagaimana adanya.

Apa yang sudah diungkapkan tidak ditutupi, tetapi dilepaskan agar mengudara bagi mereka yang tidak tahu. Kata “mengudara” ini bagian dari proses mengenal satu sama lain untuk setiap diri yang saling berprasangka.

Srili sebagai wadah, memberikan waktu dan kesempatan kepada setiap orang di dalamnya, untuk belajar bahwa stereotip dalam masyarakat telah membangun perlindungan diri yang mengarah pada overprotective dalam memproses setiap prasangka yang muncul.

Seseorang umumnya membangun perlindungan agar tidak kecewa. Seseorang terbiasa cemas untuk menerima bahwa kenyataan buruk di masyarakat dapat terjadi pula pada dirinya. Seseorang juga bisa menutup diri dan berenang di dalam prasangkanya sendiri tanpa mengetahui.

Pada akhirnya, stereotip yang terbangun itu turut membangun prasangka yang tanpa sadar meng-generalisasi banyak pihak.

Misalnya, zodiak kamu Gemini, ih suka php-in orang. Atau, kamu kok kurus, nggak diberi makan, yah? Kamu Kristen, kamu dan kelakuanmu haram karena makanan yang kamu makan! Kamu Batak pasti kasar, ih jangan deket-deket sama dia!

Stereotip-stereotip ini menunjukkan, bahwa hasil observasi dari keburukan satu orang telah memakan, dalam arti menyeret serta banyak orang yang dianggap sebangsanya (sekelompoknya).

Stereotip buruk yang digampangkan (tidak membuat ribet atau tak mau ambil pusing) oleh beberapa orang telah menjadi landasan bagi prasangka mereka. Termasuk tidak segan  menempelkan sematan atau label (php, haram, kasar, dll) pada orang-orang yang menjadi target.

Mereka tidak menyadari bahaya dari rasa benci yang terlalu. Sebab orang yang membenci telah menciptakan rasa tidak aman bagi mereka yang dibenci, hingga rantai prasangka buruk yang berujung permusuhan akan sulit dilepaskan.

Interaksi satu sama lain akan tidak sehat, karena ada ketidakinginan untuk menerima perbedaan, ada ketakutan saat kedudukan disejajarkan. Dan, yang paling fatal ketika muncul niat memusnahkan mereka yang bukan dari bagian kelompok. Contoh dalam sejarah adalah bagaimana sikap Nazi terhadap Kaum Yahudi.

Apakah situasi yang sama perlu kembali terulang? Apakah dengan adanya kedamaian malah memberi rasa tidak nyaman, bagi pihak yang menyukai konflik? Apakah mereka yang hidup untuk mencukupi diri dan keluarganya sangat perlu merasakan penderitaan oleh orang-orang yang membenci kelompoknya?

Rasanya, tidak tepat memberi penilaian pada seseorang atas stereotip buruk dalam masyarakat. Sebab jika dipertanyakan, adakah manusia yang menginginkan penderitaan yang panjang? Tentu saja tidak ada.

Srikandi Lintas Iman mengamati hal tersebut, dan bersama semua orang di dalamnya berupaya menyuarakan dialog pada hal-hal yang dianggap merusak perdamaian dan rasa aman banyak orang.

Dengan keyakinan bahwa bila setiap dari kita mulai memiliki kesadaran bahwa prasangka yang dilandasi stereotip buruk bisa mengarah pada menyakiti sesama, tentu hal itu telah menjadi awal yang baik.

Maukah kamu menguapkan setiap prasangka yang kamu rasa bersama denganku dan Srikandi Lintas Iman?