Puri, Belajar tentang Isu Perempuan, Gerakan, dan Keberagaman

“Perempuan itu sangat bisa memimpin karena pada hakikatnya laki-laki dan perempuan memiliki peranan penting dalam dunia. Hanya saja masyarakat kita membuat berbagai wacana yang menjatuhkan perempuan dan membuat perempuan seakan tidak penting dalam hal kepemimpinan.

Justru perempuan memiliki teknik kepemimpinan khas yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan memiliki rasa dan empati yang tinggi hingga memungkinkan mengambil keputusan dengan lebih bijak ketika memimpin.”

-Khalifah Angga Puri Mahacinta- 12 tahun

°

Pendapatku itu tak serta-merta muncul begitu saja. Tantangan sebagai pembelajar mandiri dan bagaimana Ibuku memperkenalkan kepada Srikandi Lintas Iman (Srili) sejak usia 8 tahun, membuatku bisa berpendapat demikian.

Ibu sering mengajakku berkegiatan bersama Srili. Hal yang melekat dalam ingatanku adalah saat aku mengikuti kemah lintas iman yang diselenggarakan komunitas perempuan ini.

Dari situ aku mengenal keberagaman dan dari Srili juga aku mengenal banyak sekali perempuan hebat. Ibu-ibu yang keren, sibuk mengurus anak dan pekerjaan; tetapi masih bisa berkomunitas dan berkegiatan sosial.

Srili dan Pemilu Damai di Panggung Perempuan Merdeka

Bulan Desember 2023 ini Srili, termasuk aku, mendapat pengalaman seru di acara Panggung Perempuan Merdeka, yang diadakan JakFem tanggal 9-10 Desember di Yogyakarta.

Dari judul acaranya, aku pikir hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan, dengan semua penyelenggara dan pengunjungnya juga perempuan. Namun, ternyata acara ini terbuka untuk umum bahkan bisa dari berbagai latar belakang.

Acara yang diorganisir Feminist Festival Id ini dikemas dengan sangat apik. Mulai dari pemilihan lokasi acara yakni di JNM (Jogja National Museum) yang merupakan salah satu kawasan pementasan berbagai karya seni dan pertunjukan di Yogyakarta.

Acara ini menyajikan berbagai workshop, diskusi, dan panggung hiburan. Selama acara berlangsung terdapat stan-stan bazar dari berbagai komunitas, yang ku yakini merupakan roh dari acara ini.

Perwakilan komunitas dari masing-masing booth memperkenalkan mereka bergerak dalam isu apa dan menjelaskan kegiatan komunitas mereka. Menariknya, pengisi bazar sangat beragam. Mulai dari Rifka Annissa, di mana aku memperoleh info maraknya kasus pelecehan seksual, hingga stan Perempuan Papua di mana aku melukis wajahku layaknya perempuan Papua pedalaman.

Selain itu ada juga stan “Bawa Buku” di mana aku membeli satu buku yang bertemakan perlawanan perempuan Palestina. Sebenarnya ada satu stan yang menarik perhatian (sayang sekali aku lupa nama komunitasnya), yang fokus kampanye untuk menghentikan atau mengurangi pangan hewani. Lalu perhatianku terarahkan ke stan PKBI, yang sedang memutar film tentang transpuan menjalani hari-hari mereka di tengah masyarakat.

Stan yang menarik lainnya tentu saja Naya Cita. Komunitas yang di bentuk ibuku dan temannya-temannya, yang fokus pada isu literasi emosi remaja. Dan tentunya Srili di mana aku menghabiskan waktu sekitar 40 menit untuk menggantikan ibuku jaga stand.

Hal yang aku amati dari stan Srili, mereka fokus untuk mengkampanyekan pemilu damai. Isu ini sempat membuat salah seorang pengunjung mengira Srili ini bagian dari Bawaslu.

Namun, ketika mengobrol dengan kakak-kakak Srili yang menjaga stan, kita jadi tahu. Yang Srili kampanyekan lebih fokus pada pemilu damai untuk perempuan. Selain itu, Srili juga tetap menyediakan selembaran yang menggambarkan kegiatan mereka dan isu-isu lintas iman yang mereka advokasi.

Bagi aku sendiri yang juga perempuan, tema Pemilu Damai yang dikampanyekan Srili, adalah ketika warga negara bisa menggunakan haknya, memilih dengan baik sesuai dengan pengamatannya terhadap calon yang akan dia pilih tanpa tekanan, dan masing-masing partai tidak sekadar beradu argumen siapa yang paling baik saja.

Semua kalangan pendukung menunjukkan hal dan contoh baik yang bisa membuat rakyat memilih dengan tenang, tanpa saling menjatuhkan satu sama lain.

Intinya pemilu damai itu hanya akan terjadi kalau masyarakat menyadari untuk saling memahami satu sama lain dan tidak menyebarkan kebencian antar satu dan lainnya.

Aku dan Pengalamanku di Panggung Perempuan Merdeka

Saat pertama kali mendatangi acara ini, kesan pertamaku adalah betapa bahagianya ketika semua orang bisa berpakaian sesuai kegemarannya dan bebas mengekspresikan diri mereka tanpa ragu sedikitpun.

Acara diskusi yang berlangsung pun sangat menarik tema-temanya, meski tak kuikuti semua karena ada hal-hal yang belum bisa kupahami di usia 12 tahun.

Yang coba kuikuti bertemakan akses kebutuhan dan dampak konflik bagi perempuan. Saat itu merupakan pengalaman pertamaku ikut diskusi yang membahas tentang feminis dengan orang-orang yang usianya jauh di atasku.

Momen tersebut sangat memberi kesan tersendiri bagiku, di mana aku banyak menemukan istilah baru yang berhubungan dengan perlawanan perempuan. Melalui diskusi itu aku juga jadi memahami betapa krusial dan rentannya menjadi perempuan di negeri ini.

Selain diskusi, ada banyak sekali workshop yang terselenggara. Semua workshop sangat bagus, hanya saja aku tidak bisa mengikuti satu pun workshop. Selain karena aku merasa usiaku masih belum cukup untuk ikutan salah satu workshopnya. Ada kendala waktu juga yang membuat aku ragu untuk mendaftar. Aku takut tidak bisa konsisten mengikuti sampai akhir, yang berarti kurang maksimal memperoleh ilmunya.

Untuk memenuhi rasa ingin tahuku akan workshop, aku mewawancarai Kak Anisa dari komunitas YIPC, yang mengikuti workshop Art Therapy (dekap diri melalui seni) yang diampu oleh komunitas Rifka Annisa.

Menurut kak Anisa, dia mendapat perspektif baru untuk memahami diri lewat seni, di mana dia merasakan kenikmatan dan ketenangan saat melukis di atas kanvas dan mulai merasakan ritme energi positif saat kegiatan berlangsung. Dia juga menambahkan bahwa akan menerapkan ilmu baru ini pada kesehariannya.

Selain workshop Art Therapy itu, ada banyak lagi jenis workshop seperti workshop mendengar korban baik-baik, workshop situasi kesehatan perempuan di situasi jalanan dan pengalaman mereka mengakses layanan kesehatan, workshop gerakan perempuan produsen pangan dalam melawan perampasan ruang dan krisisis iklim, workshop zine tentang mencatat pengalaman ketubuhan, workshop hati perempuan membangun kesehatan mental berpersektif gender, workshop menyadari dan menemukan nilai-nilai personal terhadap isu kekerasan berbasis gender dan seksual, dan yang terakhir saat menjelang penutupan acara ada workshop menjahit pembalut kain.

Menarik, ya, semua tema workshopnya!

Konser Panggung Perempuan Merdeka yang menjadi penutup, tak kalah menariknya bila dilihat dari susunan pengisi acara. Sayangnya aku tidak bisa menyaksikan karena bersamaan dengan kegiatanku yang lain.

Sungguh … pengalaman menyaksikan gerakan perempuan dan komunitasnya yang beragam dalam dua hari itu banyak memberi warna bagi Desemberku.

Terima kasih Ibuku, yang telah memperkenalkanku dengan Srili, sehingga bisa menyaksikan acara keren tersebut. Aku betul-betul merasa Srikandi Lintas Iman telah menjadi tempat belajar, di mana aku bisa mengenal banyak hal terutama tentang perempuan dan keberagaman.