Oleh Rose Merry
Siapa saya itu sangat personal, pun demikian dengan dirimu. Kita tidak bisa meletakkan nilai pada seseorang hanya melihat apa yang mata kita lihat dari permukaan. Bahkan kadang kita terjebak pada prasangka yang keliru dan itu sangat berpengaruh pada perilaku kita dalam merespon sesuatu, atau bahkan sangat tabu ketika kita harus mengudar prasangka tersebut. Biasanya kita sering terjebak pada sesuatu yang dipandang normal atau tidak normal.
Pada Gathering Srili #3 yang dilaksanakan pada 27 Juli 2024, obrolan rutin antar anggota Srili ini hadir dengan tema “Gender dan Seksualitas”. Peserta yang hadir saling berdiskusi dan berbagi pengalaman untuk menemu kenali cara pandang dalam melihat isu ini.
Obrolan dimulai dengan merefleksikan bahwa manusia cenderung mengelompokkan diri, seperti kelompok pecinta kucing, kelompok pengajian ibu-ibu, kelompok suku tertentu, dan sebagainya. Pengelompokan pertama kali dilakukan sejak atau bahkan sebelum seseorang lahir yaitu apakah terlahir sebagai lelaki atau perempuan.
Pengelompokan sebagai perempuan dan lelaki terjadi sejak awal dan diterima begitu saja. Secara natural muncul begitu saja dalam pikiran dan tindakan sehari-hari. Bahkan saat ditanya atau diminta menyebutkan ciri-ciri perempuan atau lelaki umumnya setiap orang tidak sulit menjawabnya.
Secara sifat salah satu contohnya adalah perempuan itu lemah lembut, sedang lelaki itu kuat atau perkasa. Jika dilihat dari peran maka perempuan dilekatkan dengan kerja domestik sedangkan lelaki dianggap lebih banyak kerja di sektor publik karena lelaki merupakan kepala keluarga.
Belum lagi sejak bayi dilahirkan akan dilekatkan dengan pemilihan warna baju, jenis mainan dan sebagainya. Bayi perempuan identik dengan semua yang serba pink dan bayi lelaki dengan warna biru.
Bila ditelusuri lagi, proses pengelompokan lelaki perempuan ini terjadi dari awal. Ketika bayi lahir, maka petugas medis yang menolong kelahiran akan memeriksa alat kelamin bayi. Artinya, yang menjadi rujukan adalah semata-mata karakteristik biologis si bayi, khususnya alat kelamin. Padahal selain penis dan vagina, masih ada hal biologis lain yang juga digunakan untuk mengelompokkan manusia menjadi laki-laki atau perempuan.
Karakteristik biologis yang digunakan dalam pengelompokan ini yang disebut seks atau karakteristik seks. Perlu diketahui bahwa istilah yang tepat ketika merujuk pada karakteristik seks adalah jantan dan betina, bukan lelaki dan perempuan.
Mengelompokkan manusia berdasarkan alat kelaminnya saja tidak cukup. Setelah alat kelamin bayi dilihat maka bayi ditetapkan sebagai bayi perempuan atau laki-laki. Bersamaan dengan penetapan itu, sederet ekspektasi terkait penampilan, karakter, dan peran akan ditempelkan pula kepada si bayi. Dari siapa kita belajar atau diajari bahwa perempuan harus begini dan laki-laki harus begitu? Menjadi pertanyaan refleksi kita, bahwa konsep dan standar tentang perempuan dan laki-laki, kita dapatkan dari lingkungan sekitar, baik yang langsung seperti orang tua, guru, teman dan sebagainya maupun yang tidak langsung seperti buku cerita, musik, film, tayangan media, iklan, dan sebagainya. Setiap konsep yang dibentuk, dipahami, dan diyakini secara kolektif oleh masyarakat disebut konstruksi sosial. Pun demikian konsep tentang perempuan dan laki-laki juga termasuk dalam konstruksi sosial, dan kemudian disebut sebagai gender.
Mereka yang tidak mengikuti konstruksi sosial ini akan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Hal yang sama juga terjadi pada seksualitas manusia dimana pada dasarnya manusia memiliki SOGIESC (Sexual orientation gender identity, expression and sexual characteristic) yang membuat setiap dari kita unik. Namun ada konstruksi sosial yang membuat orang dengan SOGIESC tertentu yang diterima masyarakat, sedangkan orang-orang dengan SOGIESC lainnya mendapatkan penindasan. Lebih lanjut lagi, apa sih yang di maksud dengan SOGIESC?
Mari kita lihat satu per satu. Sex Characteristics yaitu bagian tubuh manusia yang digunakan untuk mengkategorikan manusia sebagai bagian dari kelompok betina atau jantan, yakni kelompok betina ditetapkan sebagai perempuan, kelompok jantan ditetapkan sebagai laki-laki. Sex Characteristics dikenali pada saat bayi dilahirkan, dengan komponen antara lain alat kelamin (genitalia), organ reproduksi, hormon dan kromosom.
Contoh kasus orang yang terlahir dengan kondisi sex characteristics nya tidak sesuai norma medis, misal seseorang yang lahir dengan alat kelamin penis namun organ reproduksinya ternyata adalah ovarium, bukan testis. Apakah kita akan memasukkan mereka ke dalam kategori tubuh lelaki atau perempuan? Nah, kondisi individu yang memiliki sex characteristics berbeda dengan norma medis tentang tubuh perempuan atau lelaki ini disebut dengan interseks.
Berlanjut kepada Gender Identity, yakni identifikasi pribadi seseorang tentang dirinya. Masyarakat tradisional biasanya mengenal dan mengakui ragam identitas gender jauh sebelum istilah-istilah yang lebih modern muncul. Di Indonesia, ada masyarakat Bugis mengenal lima jenis identitas gender yaitu makkunrai, oroané, bissu, calabai, dan calalai. Identitas gender seseorang bisa selaras dengan gender yang ditetapkan saat lahir, bisa juga tidak. Situasi di mana identitas gender sama dengan assigned gender disebut cisgender (lebih sering disebut cis saja). Sementara, situasi di mana identitas gender seseorang berbeda dengan assigned gender-nya disebut transgender (lebih sering disebut trans saja).
Pembahasan berikutnya mengenai orientasi seksual. Pada dasarnya ada banyak sekali jenis ketertarikan yang dialami atau dirasakan manusia, tidak terbatas soal ketertarikan seksual, emosional, romantis, spiritual, artistik, estetik, eksistensial, finansial dan lain-lain. Dalam bahasan orientasi seksual, jenis ketertarikan yang digunakan untuk mendefinisikannya hanya ketertarikan emosional, romantik dan/atau seksual. Jadi orientasi seksual lebih kepada ketertarikan manusia terhadap manusia lain berdasarkan gendernya yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual.
Terakhir, kita belajar bersama mengenai ciri atau dengan nama lain ekspresi gender, yaitu bagaimana seseorang menampakkan gendernya melalui penampilan fisik, pakaian dan perilaku saat berinteraksi dengan orang lain. Hal-hal ini digunakan seseorang untuk mengekspresikan dirinya. Secara umum ekspresi gender sering dikelompokkan menjadi 4, yaitu
Feminin, jika seseorang menampilkan ekspresi gender yang sering diasosiasikan dengan perempuan, misalnya berambut panjang, memakai rok, memakai make up dan sebagainya.
Maskulin, ketika seseorang menampilkan ekspresi gender yang sering diasosiasikan dengan lelaki, misalnya berambut pendek/cepak, memakai baju sport, bertato, menampilkan kumis atau jenggot dan sebagainya.
Androgini, ketika seseorang menampilkan ekspresi gender yang maskulin dan feminin sekaligus, misalnya memakai jaket, celana sport sekaligus ber-make up.
Gender non-conforming, ketika seseorang menunjukkan penampilan atau sikap yang tidak mengikuti norma konvensional mengenai maskulinitas dan feminitas.
Dengan memahami keragaman identitas gender, setidaknya akan menjadi langkah penting bagi kita untuk memiliki pemahaman yang dapat memberikan cakrawala berpikir dan bertindak lebih toleran serta mendukung terciptanya masyarakat yang lebih inklusif.
Harapan dari diskusi pada Gathering Srili kali ini, setiap individu merasa dihargai dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan berkembang. Ini bukan hanya tentang penerimaan, tetapi juga tentang merayakan perbedaan yang ada di antara kita.