Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual

[Spoiler Alert! & Trigger Warning] Peringatan: tulisan ini mengandung konten sensitif yang barangkali dapat mengganggu dan memicu trauma Anda.

Artikel yang sama telah terbit di metafor.id (https://metafor.id/milenial/film-like-share-ketidaksengajaan-dan-trauma-kekerasan-seksual/), pada 8 Mei 2023 dan dimuat atas persetujuan metafor.id.

_

Pada tahun 2022 kemarin, Netflix menayangkan film drama dewasa asal Indonesia berjudul “Like and Share“. Sebuah film hasil kolaborasi dari dua rumah produksi besar tanah air, yakni Starvision Plus dan Wahana Kreator Nusantara, dengan sutradara Gina S. Noer sekaligus sebagai penulis.

Oh iya, sebelum lanjut, perlu kuutarakan lebih dulu bahwa ini bukanlah tulisan resensi film itu. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan agar membuatku ujug-ujug menjadi kritikus film dadakan.

Hanya saja, ini yang ingin kusampaikan. Film ini ternyata sudah berhasil menyabet beberapa penghargaan (bisa diintip sendiri di Wikipedia). Dan itu baru kusadari beberapa minggu setelah menonton–yang meskipun tidak kutuntaskan sampai selesai. Ketika mengetik kata kunci di Google “Like and Share Film”,  seketika bermunculan aneka ulasan tentangnya.

Perihal Ketidaksengajaan

Sebenarnya, ketika memutuskan menonton film ini, faktor pemicunya adalah ketidaksengajaan. Gejala awal tetiba muncul karena kegabutanku dan seorang teman perempuan yang gemar makan sembari nonton. Hal ini terjadi sama sekali di luar dari kebiasaanku sebagai penikmat film. Biasanya, sebuah film kutonton karena sudah membaca ulasannya di awal. Jikapun tidak, minimal sudah kumasukkan dalam watch-list pribadiku sepekan sebelum kutonton.

Usai menuntaskan perdebatan sengit setengah jam dengan temanku hanya untuk akan menonoton apa, akhirnya kami memutuskan nonton film Like and Share. Mie gacoan yang sedari tadi mendengarkan cekcok kami berdua akhirnya kami santap. Padahal perut sudah melilit dan keroncong, tapi anehnya perasaan itu menjadi samar karena gairah perdebatan kami sebelumnya.

Lalu kusebut perihal ketidaksengajaan ini. Sesuatu yang memang kerap kali membuat hidup lebih bergairah dan adrenalin terpacu. Bagaimana tidak, sebagian besar peristiwa yang kita jalani, itu berawal dari ketidaksengajaan, bukan? Orang tua kita yang kemudian bersetubuh, tidak lama lahirlah kita sebagai buah cinta mereka.

Siapa yang dengan sengaja dan menjamin anak yang ia lahirkan adalah perempuan atau laki-laki? Apakah ia lahir dengan anggota tubuh yang lengkap atau ada kekurangan? Jikapun ada faktor kesengajaan, maka barang tentu yang menyengajakannya adalah Tuhan itu sendiri.

Belum lagi jika ditengok ke peristiwa sehari-hari. Di mana, umpamanya, jomblo menahun ini (baca: saya) secara sangat tidak sengaja bertemu dengan sosok pujaan hati di sebuah warung kopi. Dan kupikir sebagian besar kita, bisa bertemu jodoh itu dari faktor ketidaksengajaan, kan?

Tidak berlebihan jika pengalaman ini bisa kuidentifikasi sebagai satu bentuk kebaikan semesta yang sudi mempertemukan kita. Ya, agar terdengar romantis saja, sesekali. Namun, siapa yang menyangka bahwa saya akan bertemu dengannya di sana? Sementara sudah pasti kami tidak janjian. Sedang saling mengenal nama dan wajah saja belum sama sekali. Ia belum pernah terlintas di dalam benakku. Belum pernah terdengar namanya di telingaku. Bahkan belum pernah kusaksikan penampakannya oleh kedua mataku, sedikit pun.

Wah, ini sih aku melanglang-buana ke pendefinisian surga menurut kitab tafsir Al-Munir karya salah satu mufassir kontemporer bernama Wahbah Az-Zuhaili. Topik yang pernah kupresentasikan di kelas beberapa tahun silam. Bila diibaratkan surga, yah, begitulah faktanya. Bertemu dengan sosok pujaan hati pada momen-momen yang sama sekali tidak terduga. Satu kenikmatan khas dan privat.

Wajib Diberi Label “Trigger Warning“

Sekarang balik ke film. Insiden ketidaksengajaanku menonton film ini nyatanya memicu trauma masa lalu ketika menjadi korban kekerasan seksual di akhir tahun 2019. Tulisan “trigger warning” di permulaan film kurasa memang tidak disampaikan.

Entah, bagi awam seperti saya, apakah di dunia sinematografi hal-hal demikian itu perlu dipikirkan atau tidak. Tetapi, karena disclaimer tentang adegan-adegan pelecehan seksual itu tidak disajikan di awal, itu membuatku sama sekali dalam kondisi yang tidak siap. Pula tidak sepakat untuk menyaksikan adegan-adegan yang mengarah ke tindak pelecehan seksual. Tapi, akhirnya terlihat dan itu sangat memicu trauma. Sesuatu yang sebelumnya kupikir sudah sembuh, ternyata belum. Adegan di film mengorek luka itu lagi.

Pasalnya, di tengah kekhusyu’anku menyendok mie dengan kedua mata yang bolak-balik mengeja adegan demi adegan di film, tiba-tiba ada adegan yang sontak membikin gemetar hebat dan menangis tiba-tiba. Bagaimana tidak, adegan ini begitu gamblang menampilkan seorang guru laki-laki yang baru saja menyaksikan video salah satu siswinya dengan bikini di kolam renang. Ia lalu mendekati siswi tersebut dengan gestur yang sangat menjijikkan! Tangannya memegang pundak siswinya.

Tak ayal, respon tubuhku menjadi tidak keruan. Di bagian bahu juga kurasakan geli dan tegang di bagian leher. Detak jantungku menjadi cepat. Hampir-hampir menjadi lemas. Tubuhku yang gemetar sontak membuatku harus menghentikan aktivitas makan sejenak. Dan dalam keadaan yang tidak bisa kukontrol, aku menangis dengan cukup keras.

Teman yang kaget melihat reaksi tubuhku pun seketika menyetop film itu dan mencoba menenangkanku. Hampir-hampir saja aku lepas kendali. Bahkan sembari menuliskan ini saja, aku masih kaget dan tidak habis pikir dengan kondisiku sendiri. Aku sama kagetnya dengan temanku. Mengapa aku bisa seperti ini? Padahal, sudah berkali-kali kusampaikan, kalau aku sudah pulih. Bahkan sudah 90% pulih dari trauma kekerasan seksual yang kualami 2019 silam.

Nyatanya, pergantian tahun dengan berbagai treatment yang coba kulakukan demi mencapai pulih, itu belum cukup. Belum benar-benar bisa memulihkan trauma menahun yg kualami. Betapa lelah dan tersiksa rasanya. Apalagi jika teringat pelaku–yang bahkan hari ini mungkin saja ia sedang asyik memberi kuliah ke mahasiswanya dengan berlakon seperti si paling bijaksana nan beriman. Tentu dengan label doktor apalagi sederet gelar akademik yang tersemat di belakang namanya. Membayangkan itu saja membuatku marah, dan merasa sangat kecewa. Tapi aku tidak punya daya apa-apa.

Sadar bahwa ketidakberdayaan yang kualami adalah hal yang paling mengerikan dari perjalananku mengatasi trauma, maka kucoba berpuluh kali menuliskan pengalaman ini. Sebagai satu bentuk perlawananku terhadap ketidakadilan yang kuterima. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk membela diri selain terus menuliskannya. Rasa kasihan yang teramat kepada diri sendiri membuatku harus kembali menangis dan terpuruk. Berulang kali. “Kasihan sekali kamu, Ainun,” gumamku.

Trauma yang Tidak Pernah Usai dan Apa yang Bisa Dilakukan oleh Korban

Mengakui bahwa trauma menjadi korban kekerasan seksual adalah sesuatu yang tidak akan pernah selesai dan tidak akan pernah bisa benar-benar kupulihkan. Lantas apa yang bisa kulakukan? Tentu meratap tiada akhir juga bukan solusi yang bijak. Sekalipun menangis dan merasa tidak baik-baik saja tentang hal itu juga diperlukan. Karena kalimat-kalimat dengan ambisi penyangkalan, semisal “saya baik-baik saja”, “saya sudah pulih”, “saya bisa menerima semua ini”, kesemua itu sama sekali tidak membantu pemulihanku. Nyatanya, menjadi sok kuat tidak membuatku benar-benar kuat.

Yang bisa kulakukan adalah mengakui bahwa aku belum sembuh betul. Aku belum bisa menerima ini. Aku bahkan masih sulit berdamai dengan kenyataan bahwa aku pernah dilecehkan secara seksual oleh orang yang pernah sangat kupercaya. Kenyataan yang begitu mengerikan ini ternyata masih menghantuiku sampai hari ini. Dan fakta itu yang harus kuterima. Juga perlu diterima terlebih dulu oleh korban-korban dari predator seksual.

Setelah itu apa lagi? Mengakui bahwa saya mungkin tidak akan pernah benar-benar pulih. Saya hanya bisa mencoba untuk pulih dan tidak perlu merasa kecewa dan mengamuk ke diri sendiri lagi. Seperti sering kualami dengan setengah memaki dan merendahkan diri sendiri: “Kok kamu selemah itu”; “Sudah bertahun-tahun berlalu dan kamu belum bisa sembuh?” Ya, awalnya juga aku terlalu jumawa mengatakan bahwa aku sudah sembuh. Tapi fakta mengatakan yang sebaliknya. Apa boleh buat, kini kuterima saja.

Kasihan sekali diriku jika ia harus terus menjadi korban. Sudahlah menjadi korban dari predator seksual itu, malah kutambah lagi dengan membuatnya menjadi korban dari penghakiman-penghakiman yang kubuat sendiri. Belum lagi sebagian dari kalian yang akan membaca tulisan ini. Boleh jadi ikut membuatku menjadi korban sebagaimana yang sudah-sudah. Di mana kalian dengan semena-mena menyalahkan kami yang salah berpakaian, salah dalam berperilaku terhadap lawan jenis, salah memilih tempat dan waktu, dan salah-salah lainnya.

Anggapan yang Salah

Perlu diketahui, bahwa saya dilecehkan dengan mengenakan baju yang sebagian dari kalian menganggapnya sebagai “pakaian kelebihan bahan”. Iya, saya tidak hanya berjilbab ketika itu. Saya bahkan bercadar. Kurang bahan apalagi? Kurang tertutup di mana lagi?

Juga peristiwa itu terjadi di sore hari. Bukan malam hari. Sehingga fatal, jika menganggap perempuan yang dilecehkan itu hanya mereka yang berani keluar malam saja. Tetapi, tragisnya, fakta ini memang masih sangat berat untuk diterima. Lebih-lebih bisa diaminkan oleh mereka yang sudah terlampau senang untuk menyalahkan korban. Entah demi apa, entah demi siapa, pokoknya salahkan saja perempuan (korban).

Hal lain yang bisa dilakukan oleh korban adalah mencoba untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif. Fokus melakukan aneka jenis kegiatan yang bisa mengembangkan potensi diri. Mungkin bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan advokasi korban kekerasan seksual. Atau boleh juga seminimal mungkin menyampaikan kepada khalayak untuk stop  membubuhkan komentar jahat yang menyudutkan korban ketika menanggapi kasus kekerasan seksual.

“Jika tidak bisa berkata baik, maka lebih baik diam.” Itu juga bisa jadi opsi untuk menghentikan gatalnya jemari ketika ingin berkomentar buruk. Sayangnya, hadits yang cukup populer ini tidak terlalu berdampak ketika berhadapan dengan kasus kekerasan seksual.

Toh, kebanyakan dari yang memberi komentar itu selalu berlindung di balik frasa “sekedar mengingatkan”, sehingga yang ia lakukan sama sekali tidak dirasa keliru dan berdampak menyudutkan korban. “Yah, ini kan demi kebaikan dia,” kelitnya suatu kali. Lantas korban atau perempuan yang lain disuruh jangan berpakaian minim, jangan keluar malam, jangan bergaul dengan yang bukan mahram. Faktanya, semua yang disuruh itu sudah banyak dilakukan, tetapi tetap saja mereka menjadi korban pelecehan.

Mudah-mudahan saja, mungkin tulisan ini sedikit bisa memberi perspektif baru tentang kekerasan seksual yang sampai hari ini masih begitu sulit dan alot untuk ditanggulangi. Harapan ini tentu tidak muluk-muluk, kok. Tidak perlu berdemo, berorasi, sampai berpikir untuk menumbangkan rezim. Cukup dengan menggeser sedikit perspektif kita dalam melihat kasus.

Sekali lagi, tulisan ini bukan sebentuk resensi dari film yang tidak sengaja kutonton itu. Tetapi, ia menjadi titik berangkatku untuk kembali menyadari dan mengakui sesuatu. Bahwa aku yang hari ini sudah melewati beberapa tahun dengan berbagai proses pemulihan yang coba kujalani, nyatanya tidak membuatku benar-benar pulih total.

Yang pasti, hal demikian bukan cuma saya yang mengalaminya. Hampir semua korban kekerasan seksual juga mengalami hal yang mirip dan beberapa orang sudah ikut angkat bicara dan membahas. Dan saya termasuk salah satunya.[]

Penulis bernama Ainun Jamilah. Saat ini berdomisili di Yogyakarta. Founder Cadar Garis Lucu. Pegiat isu kebebasan berkeyakinan dan beragama (KBB) dan keadilan gender Islam. Alumni Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Alauddin Makassar. Bisa disapa di akun Instagram pribadinya dengan nama @_haiininuun