Oleh: Ine Wulandari
Perempuan sebagai sebuah entitas kelompok seringkali masuk dalam kategori rentan, utamanya terkait ketertampungan aspirasi dan ruang untuk berekspresi di ranah publik.
Perempuan pada umumnya telah dibiasakan menjadi ‘yang lain’ dan ‘tersingkir’, terlebih dengan penambahan label “lintas iman”. Artinya, perempuan mesti berinisiatif untuk bergerak dan membawa pemikiran-pemikirannya keluar sehingga berdampak dalam perubahan mindset sampai aktivasi sebuah regulasi.
Srikandi Lintas Iman (Srili) Yogyakarta, sebagai wadah yang menaungi banyak perempuan dengan keberagaman, menyadari akan pentingnya peran perempuan di ranah publik. Terlebih di tahun politik yang membawa berbagai isu ‘seksi’ sampai ‘tak bergizi’.
Berbagai program digulirkan demi terwujudnya ruang publik yang ramah perempuan di tengah banjir hoaks di masa-masa menuju pemilu 2024. Salah satu kegiatan yang dilakukan, yakni seminar dengan topik “Perempuan Lintas Iman dan Hoaks di Tengah Pemilu“. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Jumat, 24 November 2023 di Kantor Kominfo Yogyakarta.
Narasumber-yang juga perempuan-dihadirkan dalam diskusi, yaitu Dewi (KPID DIY) dan Nur Hidayah Perwitasari (AJIYogyakarta). Keduanya menyoroti persoalan disinformasi yang banyak terjadi dalam ruang-ruang digital di tengah hilir mudiknya kampanye politik.
Peserta datang dari berbagai komunitas -utamanya anggota Srili- memenuhi ruang Kresna Kominfo DIY. Berbagai keresahan, ide-ide baru, dan opini dari berbagai perspektif dilontarkan ketika diskusi berlangsung.
Dewi menyampaikan bahwa di era post truth kebenaran tercipta dari kebohongan yang diulang-ulang sehingga lama-lama diterima sebagai yang benar. Peristiwa tersebut difasilitasi oleh new media (media baru) yang belum memiliki aturan khusus untuk mengawasi beredarnya disinformasi. Hal demikian diperparah dengan adanya perspektif terhadap suatu hal dapat begitu beragam.
Dewi memberi contoh mengenai konten yang dianggap pornografi memunculkan berbagai pandangan. Apa yang dimaksud pornografi, bagaimana kategorinya, dan konten mana yang termasuk pornografi pun multitafsir.
Di akhir sesinya, Dewi menyampaikan, “perempuan lintas iman perlu untuk upgrade pemahaman agar lebih bijak menggunakan media. Selain itu, perlu juga ditingkatkan literasi medianya sehingga melahirkan nalar kritis yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.”
Pemateri kedua yang dibawakan oleh Nur Hidayah Perwitasari mengangkat topik “Pengaruh Media Sosial dalam Pemberitaan Politik”. Nur mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial dalam konteks pemilu, saat ini tidak lagi konvensional, melainkan sudah fleksibel dan mengalir. Konten yang dibuat tidak lagi hanya berupa dokumentasi acara, tetapi diselingi pula dengan humor receh yang kekinian.
Nur memberikan contoh suksesnya media sosial dalam mengampanyekan salah seorang mantan presiden Amerika -Donald Trump- yang memanfaatkan algoritma di dunia digital. Di tengah melubernya konten terkait pemilu yang disebarluaskan melalui media sosial, berimbas pada tenggelamnya berita-berita positif.
Nur menegaskan, “Hal yang perlu dilakukan untuk merespon pemberitaan politik di medsos, yaitu verifikasi berlapis, memastikan keabsahan, dan menggunakan sumber terpercaya dan independen.”
Memasuki sesi diskusi, beberapa pertanyaan terlontar dari peserta yang didominasi oleh perempuan karena hanya ada tiga sampai empat orang laki-laki dalam ruangan seminar. Salah seorang peserta, Mira, menceritakan pengalamannya sebagai seorang ibu yang memiliki berbagai komunitas di masyarakat yang disatukan dalam grup WhatsApp. Dalam grup tersebut, seringkali tersebar informasi hoaks yang mudah sekali disebarluaskan. Selain itu, terdapat sentimen ekstrem yang berujung blokir nomor atau keluar grup ketika berbeda pilihan (dalam konteks pemilu).
Mira berkisah bahwa ia merespon keadaan tersebut dengan memunculkan potongan ayat Al-Quran (Surat Al-Hujurat ayat 6) dan hadis yang berkaitan dengan penyebaran berita bohong. “Cara ini efektif untuk mengingatkan sekaligus membungkam seketika ketika ada sebaran berita hoaks di grup Whatsapp”, ungkap Mira.
Dwi Rahayu, sebagai salah satu peserta yang mewakili aspirasi dari difabel tuli menuturkan bahwa ia selama ini merasa kesulitan membedakan mana informasi yang benar dan mana yang hoaks. Apalagi ada keterbatasan yang ia alami ketika mencerna berita melalui stasiun televisi karena tidak adanya interpreter atau penerjemah bahasa isyarat.
Dewi merespon kegelisahan tersebut dengan menceritakan pengalamannya saat mengajukan rekomendasi terkait regulasi penggunaan penerjemah saat melakukan siaran. Berbagai upaya pengajuan telah dilakukan ke pihak yang dapat mengesahkan regulasi tersebut, tetapi sampai saat ini belum membuahkan hasil.
Pertanyaan selanjutnya menyinggung soal “Jurnalisme Berkualitas” yang juga menimbulkan polemik karena multitafsir. Berkualitas itu yang seperti apa, diukur dari apa, dan bagaimana mengkategorikannya? Masih banyak hal yang didiskusikan dalam kegiatan ini semisal soal sanksi bagi penyebar hoaks dan platform digital yang kurang mewadahi aspirasi anak muda baik dari segi konten ataupun desainnya.
Sesi diskusi ditutup oleh moderator dengan mengimbau kepada para peserta untuk menjadi “agen penyetop hoaks” dengan memberi pernyataan tegas “menghentikan hoaks sampai di smartphone kita saja”.