Oleh Margaretha V. Mejang
“Hujan pertama kali mengajari saya tentang keberagaman. Ketika saya menyadari bahwa setiap tetes air memilki bentuk yang unik. Serupa dengan kehidupan, tidak ada dua tetes hujan yang sama.”
Sebagai mahasiswi UNIKA ST.PULUS RUTENG, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti program MBKM di Yogyakarta. Lebih tepatnya, saya diberi kesempatan mengenal keberagaman di kota Yogyakarta dan mengenal komunitas Srikandi Lintas Iman (SRILI) sebagai mitra dari program magang tersebut.
Dalam menjalani program MBKM, saya tidak sendiri melainkan bersama keempat teman yang juga terpilih dari prodi Pendidikan Teologi untuk mengumpulkan pengalaman bersama komunitas lintas iman Srili Yogyakarta.
Menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi kami, terlebihnya saya mendapat kesempatan untuk keluar dari zona nyaman. Mengapa demikian? Di Ruteng, tempat saya menempuh pendidikan, sebagian besar mayoritasnya beragama Katolik. Jadi tidak salah jika ada yang mengatakan di Ruteng itu batu, kayu, dan tanah pun beragama Katolik.
Dijuluki sebagai kota kecil dengan seribu biara dan gereja, tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat berbagai kongregasi keagamaan di kota Ruteng, walaupun tidak terlalu kelihatan. Bahkan interaksi dengan agama lain pun umumnya tidak memandang dari segi agama melainkan rasa kemanusiaan.
Misalnya pada hari raya besar agama Katolik. Keterlibatan agama-agama lain, salah satunya dengan mengarak patung Bunda Maria bersama-sama dengan umat beragama lain, bersama ribuan umat Katolik yang mengiringi dengan menyanyi. Bahkan sikap khusyuk saat mengikuti perarakan tersebut tak kalah dengan umat Katolik itu sendiri.
Kembali pada pengalaman magang ini. Bagi saya yang mengambil Pendidikan Teologi, atau nantinya akan menjadi calon guru Agama Katolik, sangat disayangkan jika saya hanya mengenal atau mempelajari agama Katolik saja. Karena penting bagi guru agama memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang berbagai agama lain di luar agamanya. Selain memperkaya wawasan, niat ini tentunya akan mendukung pembentukan sikap pada siswa yang lebih toleran.
Pengalaman saya dan teman-teman ketika pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta, seperti membuka lembaran baru dalam buku petualangan hidup kami berhadapan dengan masyarakat yang beragam.
Saya dan keempat teman tumbuh dalam lingkungan yang relatif homogen. Dan ketika magang di Yogyakarta, ibarat kami diberikan ruang pengalaman untuk memperluas pemahaman kami berkaitan dengan keberagaman.
Komunitas Srili atau Srikandi Lintas Iman, fokus pada isu toleransi, keberagaman, anti kekerasan, serta pemberdayaan perempuan dan anak.
Di komunitas Srili pertama kali saya mengenal indahnya keberagaman, karena anggota Srili datang dari berbagai agama, suku, ras, dan latar belakang yang berbeda.
Ketika magang itu, Srili bukan hanya sekadar mitra dari program yang saya jalani, melainkan keluarga yang selalu ada dan menolong saya dan teman-teman untuk beradaptasi di Yogyakarta.
Perjalanan keberagaman di Srili sendiri melibatkan interaksi dengan orang-orang dari berbagai kalangan, profesi, pendidikan, serta suku dan agama yang berbeda.
Bersama teman-teman Srili, saya belajar tentang bagaimana keberagaman bukan hanya tentang perbedaan yang tampak, tetapi juga tentang mendengarkan dan memahami perspektif orang lain.
Keberagaman yang sangat mencolok untuk saya adalah keberagaman beragama. Beberapa kali kami mengunjungi tempat ibadah dari agama-agama lain diantaranya agama Buddha (Vihara), agama Hindu (Pura) maupun tempat ibadah teman-teman penghayat kepercayaan.
Bahkan kami sempat diberikan pengalaman tinggal di pondok pesantren selama sebulan untuk mengamati praktik ibadah, belajar tentang Agama Islam serta berinteraksi dengan para santri.
Yang menjadi kebahagiaan tersendiri untuk saya, ketika berbincang dengan tokoh-tokoh dari agama lain. Dari pengalaman atau sejarah yang mereka ceritakan tentang agama, mereka mengubah pandangan saya yang awalnya menyatakan bahwa agama saya saja yang benar.
Saya pun belajar bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama, menguatkan iman dan moral, hanya caranya saja yang berbeda. Dalam setiap percakapan saya dan teman-teman dengan tokoh dari agama lain itu, saya menemukan bahwa keberagaman tetap mampu menciptakan ruang untuk dialog yang dapat membawa kekayaan pemahaman.
Mengenal kebudayan menjadi langkah berani lainnya dalam perjalanan saya selama di Yogyakarta. Saat saya mengeksplorasi daerah itu, saya tidak hanya disuguhi keindahan seni dan tradisi, tetapi juga merasakan keunikan perilaku masyarakat yang memberikan warna khas pada pengalaman saya. Misalnya, etika sopan santun yang tinggi bisa terlihat dalam setiap interaksi masyarakat.
Saya mengalami betapa masyarakat sangat menghargai nilai-nilai kesopanan, baik dalam bahasa tubuh, tutur kata, maupun sikap, tanpa memandang agama maupun golongan. Dari sinilah saya memahami bahwa hal-hal sederhana pun bisa menjadi luar biasa ketika kita melakukannya dengan tulus dan penuh cinta.
Tetes hujan yang mungkin di anggap sepele banyak orang faktanya telah menjadi guru yang penuh makna dalam hidup saya. Mereka mengajarkan bahwa keberagaman bukanlah sesuatu yang jauh atau besar, tetapi dapat ditemukan dalam setiap momen sehari-hari, seperti halnya setiap tetes hujan yang jatuh dari langit.
Dengan merangkul keberagaman ini, saya menemukan bahwa setiap detik hidup adalah peluang untuk tumbuh dan memahami kebesaran dunia yang kaya akan warna dan cerita.
Pada akhirnya, perjalanan saya untuk mengenal keberagaman telah melampaui sekadar pengenalan agama dan budaya. Pengalaman ini telah membentuk pemahaman baru saya tentang nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Sungguh saya merasa jadi lebih siap menghadapi dunia yang beragam.
Perjalanan ini sesungguhnya bukanlah tujuan akhir, tetapi sebuah awal dan bekal, yang akan membuka pintu-pintu selanjutnya bagi petualangan keberagaman dalam kehidupan saya.