Di sebuah gerai mini market yang berkonsep café, sepasang remaja duduk sambil bersenda gurau. Pemandangan biasa zaman sekarang. Lalu, ketika mereka beradegan mesra sepasang kekasih, beberapa pasang mata saling memberi kode dengan gestur tubuh yang ‘mau gimana lagi, anak muda zaman sekarang’
Mungkin kemudian muncul pernyataan-pernyataan, “Malu kalau saya ibunya.” “Nggak punya harga diri sebagai perempuan. Kalo lelaki kan nggak jadi omongan.”
Banyak kasus terkait moral dan hubungan antar lawan jenis menyudutkan perempuan seolah pihak yang wajib disalahkan. Padahal logikanya, PDA* Public Display of Affection atau unjuk kemesraan di ruang publik, sejatinya tak mungkin terjadi bila tak ada persetujuan (entah dibicarakan atau nggak), dalam hal ini konsensual lelaki perempuan.
PDA secara definitif merupakan tindak perilaku yang menunjukkan intimasi, atau kedekatan secara fisik dengan pasangan mulai dari berpegangan tangan, saling memeluk, bermesraan, di tempat umum. Sesungguhnya tak ada yang menjadi obyek penderita atau korban. Masalahnya, perempuan sering kali disudutkan sebagai pihak atau korban yang jadi bahan gunjingan atau cercaan publik, baik ketika itu maupun di masa akan datang.
Pandangan ini lalu disebarluaskan dengan postingan, reposting dan resharing konten, dengan ribuan komen. Bahkan, pada beberapa kasus, telah terjadi penyalahgunaan isi PDA itu untuk porn revenge. Lagi-lagi menjustifikasi pihak perempuan dengan caption, mantanku biar kamu tahu rasanya orang yang dikhianati.
Konten lain mereproduksi kasus ini dengan dibumbui caption publik seolah netizen ahli hukum, moral, bahkan ahli agama, tanpa berefleksi apakah diri sendiri sudah sempurna.
Bukankah lebih bijak, bila kita lebih fokus pada PDA, sebab dan akibatnya. Ketika PDA ini berkembang menjadi kasus ‘ancaman’ dan ‘kekerasan’.
Banyak ditemukan alasan utama para pelaku ternyata sebagai unjuk sikap posesif dan kepemilikan agar orang sekitar yang melihat yakin bahwa pasangan ini saling cinta, dan sudah ada pemiliknya.
Hal yang perlu diwaspadai dan disadari selanjutnya ketika PDA dipakai untuk melakukan kontrol atau memegang kendali pada pasangan. Bukan tanda cinta, melainkan diasumsikan sebagai hubungan yang toksik.
Tim Siloam Hospital menulis pada lamannya tentang riset yang menganalisa perasaan seseorang ketika memiliki kemampuan untuk mengendalikan pasangan. Biasanya hal itu memberikan perasaan aman dan nyaman, karena baik satu atau keduanya merasa memiliki kekuatan untuk menjaga hubungan agar tetap stabil.
Kita perlu juga mengamati, sekiranya terjadi grooming pada pasangan yang berusia lebih muda. Di mana para pelaku biasa melakukan relasi kuasa, membombardir dengan keamanan dan kenyamanan, hingga korbannya merasa hal itu murni wujud cintanya.
Hal lain yang juga sebaiknya kita sadari bersama bahwa ketidaktahuan orang akan personal boundaries masih ada. Ketika kita kurang paham bahwa tetap ada batasan fisik dan hal personal lainnya saat berinteraksi dengan orang lain, termasuk keluarga, teman, tetangga, maupun orang asing.
Sudah saatnya kita perlu berbincang dengan remaja kita, untuk tidak FOMO dalam hal ini. Meski orang-orang dalam lingkar pertemanan mereka, mewajarkan cium pipi kiri kanan, peluk antar lawan jenis termasuk yang baru kenal dan di tempat umum, tak serta merta membuat mereka perlu berperilaku yang sama.
Dengan tahu, paham dan mampu menetapkan batasan personal ini, termasuk membicarakannya dengan teman-teman circle terdekat, membuat relasi satu sama lain akan lebih nyaman, apalagi disertai sikap respek akan batasan personal masing-masing.
Sampai sini, kita bisa melihat, banyak pekerjaan rumah yang berawal dari sekadar menggunjingkan tindak PDA ini. Termasuk urgensi pendidikan kesehatan reproduksi yang lebih komprehensif. Dengan pertanyaan pemantik apakah lebih baik anak-anak remaja kita unjuk keintiman di tempat umum, daripada sembunyi-sembunyi dalam bilik tertutup yang makin mengarah pada kemungkinan kehamilan tak diinginkan atau penularan penyakit seksual?
Yuk, saya, Anda, ibu-ibu, para ayah, kakak, mari menuntaskan pekerjaan rumah tersebut.
Dibanding mem-viralkan, membagikan postingan sejenis kepada banyak orang, agar bisa mempermalukan beramai-ramai, lalu menghakimi sepuas hati, yang ujung-ujungnya akan menempatkan perempuan lagi-lagi sebagai korban.