Oleh Rezha Rizqy Novitasary
Semester lalu, di awal tahun ajaran, sekolah tempat saya bekerja mengadakan bursa pendaftaran calon ketua dan wakil ketua OSIS. Sayangnya, hingga mendekati penutupan pendaftaran, hanya satu pasangan calon saja yang sudah terdaftar.
Kedua pasangan calon itu berjenis kelamin laki-laki. Guru-guru sempat heran, kenapa tidak ada siswa lain yang berminat untuk mendaftarkan diri sebagai pasangan calon ketua dan wakil ketua OSIS.
Ternyata, sebenarnya ada seorang siswi perempuan yang berminat untuk mengajukan diri sebagai calon ketua OSIS. Ia juga telah memilih salah satu kawan perempuannya untuk menjadi calon wakil ketua OSIS. Namun, sayangnya kedua siswi perempuan itu batal mendaftar. Padahal, keduanya siswi yang bertanggung jawab dan memiliki prestasi akademik di atas rata-rata.
Alasan keduanya ragu mendaftar sebagai calon ketua dan wakil ketua OSIS ada beberapa faktor.
Sebagai siswi ia paham betul privilege lelaki untuk mendapatkan kepercayaan dari siswa yang lain.
Faktor lain, sebagai siswi yang cukup berprestasi di bidang akademik dan sering dipuji beberapa guru di hadapan siswi lain menimubulkan kecemburuan. Ia sering menerima sindiran dan ejekan dari kakak kelasnya, yang anehnya sesama perempuan.
Fenomena tersebut seketika menunjukkan bagaimana langgengnya persaingan antar perempuan. Menurut Ester Lianawati, dalam bukunya Akhir Penjantanan Dunia, patriarki memang membentuk perempuan sebagai objek, bukan subjek. Antar sesamanya mereka didorong untuk saling mengunggulkan diri hanya demi menjadi yang terpilih dan mendapatkan validasidari pihak luar.
Masalah kedua ini cukup pelik. Gangguan dan cibiran darikakak kelas yang perempuan nyatanya berpengaruh besar terhadap kepercayaan diri siswi tersebut ketika tampil di depan umum. Bahkan hanya untuk sekadar berjalan menuju kantin atau di lorong kelas, ia juga sempat merasa khawatir.
Ketiga, ia sendiri merasa malu dan belum siap menerima kekalahan. Sebab, masih ada hubungannya dengan masalah kedua. Ejekan dan cibiran yang muncul karena dianggap terlaluberani mencalonkan diri melawan saingannya yang laki-laki, akan semakin santer didengar.
Kenyataan yang dihadapi perempuan apabila hendak berkecimpung aktif di bidang organisasi bak keniscayaan. Apalagi jika ia ingin mengembangkan pengalamannya menjadi seorang pemimpin. Kebanyakan perempuan sudah memilih ‘mengalah’ sejak awal, menurunkan keinginannya sendiri, bahkan ketika sebenarnya mampu.
Ia merasa tak perlu menjadi pemimpin, sebab ada teman lelaki yang lebih layak menduduki jabatan tersebut. Lalu, ia memilih menjadi sekretaris, bendahara, atau anggota divisi saja.
Bagaimana bisa itu terjadi? Tak bisa dipungkiri didikan dan pembiasaan yang telah perempuan terima sejak kecil. Masyarakat patriarki mendesain perempuan menjadi sosok yang patuh dan penurut. Kepada perempuan, patriarki membebankan sederet nilai kepatuhan. Jadi perempuan harus begini, harus begitu, tak boleh begini, tak boleh begitu. Jika tak mengikuti nilai patriarki, ia akan dicap bukan perempuan baik-baik.
Patriarki umumnya berhasil menanamkan dalam benak perempuan bahwa sebaik-baik perempuan adalah mereka yang dipilih oleh lelaki atau masyarakat. Patriarki mendidik perempuan untuk bersaing, dan menganggap keberhasilan perempuan lain sebagai ancaman baginya.
Bahkan, kelak jika perempuan dewasa, patriarki gencar menuntut perempuan untuk menjadi sebaik-baiknya istri dengan selalu menuruti apapun perkataan suami. Melalui teks-teks agama yang misoginis, patriarki memperpanjang tangannya untuk mendesain istri-istri penurut yang mengabaikan nalar berpikirnya sendiri.
Seringkali perempuan diajarkan bahwa dirinya bukanlah miliknya sendiri. Sebelum menikah, perempuan adalah milik ayahnya. Sementara setelah menikah, perempuan adalah milik suaminya. Lalu, kapan perempuan dapat memiliki dirinya sendiri?
Padahal, menurut Dr. Nur Rofiah, perempuan adalah subjek penuh dan manusia utuh. Ia memiliki akal, budi, dan rasa. Juga memiliki cita dan harapan. Seharusnya ia juga berhak menentukan jalannya sendiri. Maka, seringkali Dr. Nur Rofiah menegaskan dalam setiap kajian dan tulisannya: setelah milik Tuhannya, tubuh perempuan adalah miliknya sendiri.
Masalah yang dihadapi siswa saya di atas, ternyata adalah masalah umum yang seringkali dihadapi perempuan. Kelak, ketika mereka dewasa dan terjun ke dunia karir, masalah itu kembali terangkat ke permukaan. Perempuan yang hendak memunculkan dirinya dan mengembangkan potensinya, terutama dengan menduduki jabatan tertentu, selalu menghadapi banyak lapisan yang menghalanginya.
Masyarakat ‘menakuti’ para perempuan pemberani tersebut dengan ancaman sebagai perempuan tak akan dipilih laki-laki. Sebab laki-laki tak suka dengan perempuan dominan. Padahal sebenarnya, laki-laki itu merasa insecure atas pencapaian diri perempuan.
Kepada perempuan, dibebankan tugas domestik yang begitu banyak, seperti menyediakan pakaian bersih, membersihkan rumah, dan menyiapkan makanan. Perempuan juga diwajibkan sebagai penanggung jawab pengasuhan anak-anak.
Belum lagi beban sosial yang hampir sebagian besar dirasakan oleh perempuan. Keharmonisan dalam menjalin relasi dengan tetangga, menjaga komunikasi dengan keluarga pasangan, mengikuti kegiatan sosial yang diselenggarakan warga, hampir semua dibebankan kepada perempuan.
Sudah begitu, ketika ia berhasil menduduki jabatan tertentu cibiran tak berkesudahan acapkali mereka dengar. Dianggap sebagai ibu yang egois karena memilih karir daripada mengasuh anak. Dianggap tak tahu diri dan tak mau mengurusi suami,terlalu ambisius, dan lain sebagainya.
Puncaknya, banyak perempuan yang akhirnya memilih legowo merelakan mimpinya untuk berkarir dan mencapai prestasi atau jabatan tertentu. Dengan segala kesibukan domestik dan beban pengasuhan, akhirnya ia memilih untuk tak menjadi apa-apa. Asal sudah bekerja, dirasa telah cukup memenuhi mimpi masa kanak-kanaknya. Tak perlu terlalu mengembangkan diri meski punya potensi itu.
Fakta di lapangan menunjukkan jumlah kepala sekolah perempuan tak pernah mencapai setengah dari jumlah kepala sekolah laki-laki. Jumlah pemimpin daerah perempuan, tak pernah mencapai seperempat dari total jumlah pemimpin daerah.
Begitu pula yang terjadi dalam dunia politik. Meskipun UU tentang partai politik yang mengharuskan tiap parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan telah disahkan, hal ini belum banyak membantu.
Seringkali, banyak pihak mencemooh ketidakmauan perempuan untuk berkarir di dunia politik. Sudah difasilitasi kursi sebesar 30%, tapi masih banyak yang tak mau maju. Banyak pula yang berpikiran bukan karena perempuan tak mau, tapi memang perempuan tak mampu. Artinya perempuan dianggap tak memiliki kualifikasi yang sesuai.
Pada akhirnya sebagai perempuan saya mulai paham. Bukannya perempuan tak mau terjun ke dunia politik. Bukan juga perempuan tak mampu dan tak memiliki kualifikasi untuk berkarir di dunia politik. Namun, paham patriarki telah sukses menjajah perempuan bahkan sejak dalam pikirannya.