Konflik berbasis agama yang menyebabkan sekitar lima ribu orang meninggal dunia, dan kurang lebih setengah juta penduduk Maluku yang terpaksa mengungsi, yang menjadi inti cerita dalam “Beta Mau Jumpa” tepat menjadi gambaran bagaimana peran krusial perempuan dalam menyelesaikan sebuah konflik.

Kisah Othe Patty (Kristen) dan Nafsiah (Islam) yang menjadi dua tokoh utama dalam film dokumenter berdurasi 35 menit yang diproduksi atas kerjasama Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, WatchdoC Documentary, dan Pardee School of Global Affairs, Boston University, yang didukung oleh the Henry Luce Foundation.
Film ini menjadi model inisiator perdamaian perempuan dalam konflik antar agama di Ambon, dan menjadi contoh baik dari upaya penyelesaian ataupun resolusi konflik dengan cara negosiasi.
Di sini, kita dapat melihat peran dan upaya para perempuan maupun anak muda di Maluku yang turut serta dalam merajut perdamaian, menjembatani kesenjangan hubungan antara umat Kristen dan Islam yang telah lama mengalami segregasi pasca konflik yang berkepanjangan (Berita Beta:2021).
Proses penyelesaian konflik semacam itu sejalan dengan yang dipaparkan Hendra Sigalingging dan Endah Setyowati dari Prodi Studi Humanitas Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, dalam sesi Pelatihan Training of Trainer (ToT) resolusi konflik SRILI.
Pelatihan ini menjadi krusial diadakan Srikandi Lintas Iman (SRILI) sebagai salah satu komunitas yang mewadahi kaum perempuan dari berbagai identitas suku, agama, dan kepercayaan. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari berturut-turut ini (Sabtu-Minggu, 25-26 Mei 2024) diselenggarakan di Aula Masjid Fadhli Umar Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang merupakan bagian dari jaringan SRILI.
Kekhawatiran tentang pelatihan yang berlangsung saat libur (weekend) dengan model materi yang berat dan disampaikan dalam waktu yang singkat, nyatanya dapat berjalan dengan cukup ringan dan menyenangkan. Setiap materi dikemas dengan beberapa model permainan yang tentu saja membuat para peserta rileks, sehingga tetap merasakan suasana weekend.
Berlanjut pada “resolusi konflik” yang menjadi tema utama pelatihan, kita tak bisa menutup mata bahwa dalam kurun waktu sebulan (Mei-Juni), telah terjadi beberapa kasus pembubaran peribadatan yang dialami oleh umat Katolik maupun Kristen di beberapa daerah.
Salah satu yang tercatat adalah pembubaran doa rosario oleh mahasiswa Katolik yang dibubarkan paksa oleh ketua RT bersama para warga di Jalan Ampera, Pamulang, Kota Tangerang Selatan. “Ada yang bentak perempuan, kemudian teman-teman [mahasiswa yang tengah berdoa] enggak terima. Kemudian [pelaku] datang beramai-ramai [semakin mengintimidas],” ungkap R. Pembubaran peribadatan ini tercatat sebagai satu dari sekian banyak konflik berbasis agama yang terjadi selama tahun 2024.
Lalu, bagaimana korelasinya dengan posisi perempuan sebagai kelompok rentan ketika terjadi konflik, saat dinyatakan “… perempuan kerap menjadi korban intimidasi baik fisik maupun psikis.” (BBC:2024).
Film “Beta Mau Jumpa” yang menunjukkan praktik negosiasi yang dilakukan oleh Othe dan Nafsiah dalam merekonsiliasi konflik Ambon menjadi contoh nyata bagaimana ketangguhan perempuan dalam menghadapi konflik.
Meskipun di antara mereka terbayang luka masa lalu, ada stigma dan ketakutan yang berkecamuk antara dua identitas (Kristen-Islam) ini. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat kerinduan untuk berjumpa itu surut. Ingatan akan kehangatan persaudaraan yang terjalin antara Othe dan Nafsiah sebelum terjadinya konflik menjadi senjata yang sangat ampuh untuk meruntuhkan segala bentuk ketakutan dan kebencian yang ada di sekitar mereka (Ein Institute:2020).

Hal itu makin dipertegas Mas Hendra tentang pentingnya negosiasi sebagai satu dari empat tahapan rekonsiliasi dalam resolusi konflik. Di mana, secara berurutan ada koersi, arbitrasi, mediasi, dan negosiasi. Pada tahap negosiasi inilah yang menjadi puncak dari proses rekonsiliasi yang menjadi skill (kemampuan) yang harus dimiliki oleh peserta yang sudah mengikuti pelatihan Srili tersebut.
Narasi-narasi tentang ketangguhan perempuan ini menjadi hal yang perlu untuk terus diingat dan disuarakan guna memberi kekuatan, menyuburkan keberanian, dan menumbuhkan percaya pada diri setiap perempuan. Karena meskipun perempuan adalah kelompok yang paling rentan ketika berhadapan dengan konflik, namun mereka juga adalah kelompok yang paling tangguh dalam melakukan negosiasi dan merekonsiliasi konflik.
Kegiatan Pelatihan Resolusi Konflik Batch II ini ditutup dengan ajakan Bu Etty kepada para peserta untuk saling berangkulan dan mengucapkan kalimat positif yang semakin meneguhkan inisiasi maupun praktik baik yang (diharapkan) dapat terus lahir dari diri perempuan.