Oleh: Faidatun Nadiroh
Suatu petang muncul sebuah notifikasi WhatsApp dari seorang teman baik. Dia mengabarkan bahwa saya dipilih menjadi peserta Training of Trainer (ToT) Temu Keberagaman di tanggal 25-28 Juli di sebuah penginapan di jalan Kaliurang. Kesempatan yang tentunya langsung saya iyakan, rasanya rindu sekali bisa mengikuti kegiatan semacam ini. Beberapa hari kemudian, saya digabungkan ke dalam grup WA. Hal yang semakin menarik adalah hanya sedikit dari anggota grup yang saya kenal, artinya akan ada banyak aktor-aktor baru untuk mengkampanyekan isu-isu keberagaman. Di isu seperti ini, jujur saja kadang saya merasa jenuh dengan hadirnya orang yang itu-itu saja. Pelatihan ini dihadiri oleh para pemuda dan pemudi dari berbagai identitas yang berbeda. Pengalaman selama empat hari tersebut sungguh menyenangkan dan penuh dengan energi positif. Bertemu dengan peserta dari beragam latar belakang, baik agama, suku, pekerjaan, maupun disabilitas, memberikan perspektif baru tentang bagaimana keragaman seharusnya dirayakan dan dihargai.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah pendekatan interseksionalitas, di mana ragam identitas seseorang saling berkaitan dalam membentuk kerentanan terhadap diskriminasi dan penindasan. Hal ini sangat jelas terlihat dalam komposisi peserta yang hadir, yang berasal dari berbagai latar belakang, baik dari segi agama, keyakinan, suku, pekerjaan, maupun disabilitas. Namun, sayangnya, pelatihan ini tidak dihadiri oleh representasi kelompok keberagaman gender dan seksual, serta masih minim partisipasi dari ragam disabilitas. Kendati demikian, pendekatan interseksionalitas yang digunakan tetap berhasil membuka ruang diskusi tentang bagaimana berbagai identitas ini saling berkelindan dalam membentuk pengalaman hidup seseorang.
Sesi-sesi selama pelatihan sangat segar dan penting untuk menginternalisasi nilai-nilai perdamaian dan toleransi di tengah kemajemukan yang ada di sekitar kita. Salah satu sesi yang paling menarik bagi saya adalah sesi kedua, di mana kami diminta untuk mengenali kekurangan dan kelebihan diri sendiri. Latihan ini membawa refleksi mendalam, bahwa kekurangan bukanlah hal yang harus ditutupi, melainkan bagian dari diri yang membentuk keunikan. Saya belajar bahwa berdamai dengan kekurangan adalah langkah awal untuk bisa menerima diri sepenuhnya. Bagi saya pribadi, ini adalah momen penting dalam pelatihan, di mana saya merasa lebih dekat dengan diri sendiri dan mampu menghargai kerentanan sebagai kekuatan.
Sesi lain yang tak kalah menarik adalah metode World Cafe, di mana peserta diajak untuk berdiskusi dan bertukar pandangan secara mendalam tentang isu-isu penting seperti disabilitas, gender dan seksualitas, serta keberagaman agama. Ketiga tema ini dipilih karena memiliki kaitan erat dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Metode ini memberikan ruang yang bebas dan inklusif bagi kami untuk mendiskusikan isu-isu tersebut, dan yang lebih penting lagi, memberikan kesempatan untuk mendengar langsung perspektif dari orang-orang yang memiliki pengalaman hidup yang berbeda.
Dalam suasana diskusi yang hangat dan inklusif ini, saya merasa semakin menyadari betapa pentingnya memahami berbagai keragaman identitas yang ada. Tidak hanya dari sudut pandang akademik atau teori, tetapi juga dari pengalaman nyata para peserta yang membawa cerita hidup mereka masing-masing. Saya merasa bahwa pelatihan ini memberikan kesempatan emas untuk memperluas wawasan, membuka pikiran, dan yang paling penting, menanamkan rasa empati terhadap orang lain.
Selain itu, pelatihan ini juga menantang saya untuk lebih kritis dalam melihat isu-isu yang diangkat, terutama terkait dengan keterbatasan representasi kelompok tertentu. Meskipun pelatihan ini berhasil membahas banyak hal, namun kekurangan representasi dari kelompok keberagaman gender dan seksual serta minimnya partisipasi dari komunitas disabilitas menandakan bahwa sangat penting untuk memastikan inklusivitas yang lebih komprehensif di masa mendatang.
Secara keseluruhan, Temu Keberagaman ini memberikan saya pengalaman yang sangat berharga. Dengan pendekatan interseksionalitas yang diusung, saya menjadi lebih peka terhadap bagaimana berbagai identitas yang kita miliki saling mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari. Saya merasa pelatihan ini bukan hanya tentang belajar, tetapi juga tentang menumbuhkan empati dan kesadaran kritis terhadap keberagaman yang ada di sekitar kita. Pelatihan ini mengingatkan saya bahwa kerja-kerja keberagaman dan toleransi adalah sebuah proses panjang yang harus terus dijaga, dipelajari, dan dirawat setiap harinya.
Sekali lagi, saya merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari pelatihan ini, bertemu dengan orang-orang yang inspiratif, dan membawa pulang pelajaran yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri, tetapi juga bagi komunitas dan masyarakat luas. Saya berharap, ke depannya, kesempatan seperti ini bisa diakses oleh lebih banyak orang, terutama dari kelompok-kelompok yang selama ini mungkin terpinggirkan atau kurang terwakili.