Oleh Nuraini Chaniago
Indonesia baru saja selesai menggelar pemilihan calon pemimpin bangsa untuk lima tahun ke depan. Hasil penghitungan suara secara real juga masih terus dilakukan hingga beberapa waktu mendatang. Tentunya demi memastikan siapa yang akan benar-benar menjadi pemimpin negeri ini. Walau faktanya sosok yang akan memimpin negeri ini kedepannya sudah terbaca dengan pro kontranya sekaligus.
Pada Pemilu 2024 ini, hasil rekapitulasi DPT menyatakan bahwa mayoritas pemilih pemilu didominasi oleh generasi Z dan millennial. Generasi Millenial adalah sebutan untuk orang-orang yang lahir pada tahun 1980-1994. Adapun generasi Z merupakan orang-orang yang lahir pada tahun 1995-2000 an.
Dari berbagai data, pada tahun ini kedua generasi ini menjadi pemilih terbesar dengan jumlah 56,45% dari total keseluruhan pemilih. Artinya, siapapun calon pemimpin yang terpilih saat ini dengan semua visi-misinya, suara orang muda menjadi bagian besar dalam memberikan andilnya. Karena memang orang muda menjadi figur transendennya. Namun, terlepas dari siapapun yang terpilih nanti, tentu harapannya mampu benar-benar memperjuangkan hak-hak seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Pemilu kali ini cukup berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya, dimana adanya beberapa hal yang penuh kejanggalan yang membuat tatanan demokrasi semakin dipertanyakan. Memunculkan banyak pihak mengkritisi sistem demokrasi yang cacat moral ini.
Di antara hal yang menjadi sorotan utama bagi masyarakat ialah dalam pengusungan salah satu calon wakil presiden yang seketika menjadi kontroversial. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mendadak mengubah aturan calon wakil presiden yang awalnya harus di atas 40 tahun menjadi minimal 35 tahun dan sedang/pernah menjabat sebagai kepala daerah, menjadi puncak kontroversi itu.
Tak hanya hal itu saja, keterlibatan para Aparatur Negera yang tidak menunjukkan sikap netral pun menjadi sorotan di pesta demokrasi tahun ini. Mestinya, sebagai Aparatur Negara mereka tidak boleh terlibat dalam Tim Kampanye Nasional salah satu paslon. Kalaupun ingin terlibat, maka hal itu dilakukan dalam masa-masa cuti. Masa cuti menjadi penting bagi Aparatur Negara agar tidak menyalahgunakan fasilitas negara, meski realitanya tidak demikian
Pelanggaran etik tak hanya dilakukan terang-terangan oleh para menteri, tetapi sekelas presiden pun melakukan hal yang sama. Seorang kepala negara semestinya bersikap netral, sayang, faktanya memihak, bahkan terang-terangan mengkampanyekan kemenangan salah satu paslon.
Menilik Undang-Undang, hal ini sebenarnya sah-sah saja jika seorang presiden melakukan kampanye. Sebagaimana termuat pada Pasal 281 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Namun, secara etika tindakan itu sepatutnya dalam masa cuti, atau jika presiden tersebut merupakan petahana yang akan mencalonkan dirinya kembali sebagai pemimpin negara.
Sebenarnya masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di pemilu tahun ini, baik dilakukan secara tersembunyi maupun terang-terangan. Tak hanya dilakukan oleh kalangan bawah, tetapi juga kalangan atas.
Sebagai orang muda, saya merasa prihatin dengan sistem demokrasi yang dikhianati dan dicabik-cabik oleh pihak tertentu demi kepentingan kelompoknya. Ini bukan tentang siapa yang mendukung siapa, melainkan lebih kepada contoh moral yang akan menjadi contoh orang muda di masa depan.
Jika para elit politik dan pemimpinnya saja mampu melakukan pelanggaran demi kepentingan pribadi, maka tidak akan menutup kemungkinan hal itu menjadi contoh bagi kalangan muda yang akan ikut kontestasi di masa depan. Dengan cara melanggar etika, moral, bahkan hukum demi memuaskan keinginan mereka untuk mencapai sesuatu. Tentu hal ini bukanlah warisan yang baik untuk masa depan bangsa.
Demokrasi bukanlah sesuatu hal yang sakral yang mesti disembah layaknya Tuhan. Namun, setidaknya untuk suatu negara, demokrasi adalah sistem, instrumen dan falsafah yang memiliki esensi kesejahteraan, adil makmur, musyawarah, serta membungkam hal-hal sebaliknya. Seperti kemiskinan, ketimpangan, dan lain-lainnya. Menjadi pekerjaan rumah semua orang agar demokrasi menjadi identitas negara Indonesia.
Sebagai suatu identitas, wajar saja jika ada hal-hal yang mencederai, kita merasa penting untuk mengembalikan sebagaimana mestinya. Sistem demokrasi dipilih dengan upaya yang tidak mudah untuk menjadikannya sebagai prosedur keikutsertaan rakyat dalam pengelolaan kekuasaan. Tentu agar cita-cita kemerdekaan tersebut terbuka untuk setiap rakyat Indonesia.
Hal-hal yang terjadi pada Pemilu 2024, mudah-mudahan membuka mata rakyat Indonesia. Sistem demokrasi tak hanya dikhianati, tetapi juga dilumpuhkan dengan sengaja. Salah satunya, ketika orang muda yang diharapkan mampu mengkritisi dan menjadi garda terdepan untuk mengembalikan kehormatan demokrasi, malah sebagian besar memihak, dan seolah menutup mata dan telinga terhadap semua ini.
Dalam beberapa kesempatan saya bersama teman-teman muda yang melakukan diskusi perihal ini, hampir sebagian mereka menormalisasi semua itu terjadi. Pihak yang kritis dianggap sebagai korban dari ke-baper-an pilihan pemilu dan lain-lain.
Jika orang muda saja tak mampu berdaya kritis, memilih bungkam, bahkan ikut arus pelanggaran demokrasi, kepada siapakah kita mengharapkan perubahan negeri ini di masa depan?
Ayo, orang muda, sadarlah, ambil bagian untuk melakukan perubahan dan mengembalikan demokrasi dari kelumpuhannya, sebelum benar-benar mati dari Indonesia.