SP2KM: Perjalanan Menggugat Pendidikan yang Bersekat

Oleh M. Khoirul Imamil M

Menjelang pertengahan tahun 2022, Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggelar kegiatan SP2KM (Strategi Percepatan Peningkatan Kepemimpinan Mahasiswa) yang sebelumnya sempat mandek lantaran pandemi. Di awal program, para peserta diharuskan mendesain sebuah kegiatan pengabdian masyarakat dengan beragam pilihan tema. Saat itu, aku tertarik dengan tema pendidikan inklusif. Aku bersama beberapa teman lain kemudian menginisiasi sebuah program peningkatan inklusivitas pendidikan di TPA (Taman Pendidikan Alquran) Inayatullah.

Ide ini muncul dari keresahan kami soal fakta lapangan akan segregasi keilmuan yang masih terjadi. Seringkali, pendidikan dijalankan dalam sekat-sekat pemisah yang menghambat pertautan (link and match) antar-ilmu yang amat heterogen. Dalam kasus ini, kami menangkap sinyal indikasi bahwa di beberapa TPA ditemui penurunan jumlah siswa lantaran beralih masuk ke kelas-kelas les/tambahan belajar.

Kami menyadari bahwa dorongan akademik kerap kali membuat orang tua dan anak mengorbankan pendidikan religius/spiritual. Tentu, ini tak mutlak salah, karena fakta bahwa pendidikan religius/spiritual yang cenderung eksklusif juga merupakan faktor lain yang tak bisa dikesampingkan.

Kunci dari misi pendidikan inklusif menurut kami terletak pada dua hal, yakni dialog dan sinergi. Di mana desain pendidikan yang meletakkan nilai-nilai spiritual sekaligus nilai-nilai kognitif lain dapat saling merangkul dan menghasilkan buah cipta konstruktif. Setidaknya, tak ada lagi ketimpangan dan gap antara dua kutub ini.

Konsep semacam ini merupakan pendidikan kontekstual, yakni pendidikan yang didasarkan pada penggalian jati diri (the spirit of soul) serta aktualisasi terhadap dinamika zaman. Akhirnya, diupayakanlah beberapa program pendidikan dalam bentuk kelas-kelas singkat, mulai dari designing future, leadership values, strengthening literacy, hingga English introduction dan parenting seminar. Tema itu disusun untuk mendukung inklusivitas dan ekualitas pendidikan. Yang tak hanya ditentukan oleh kualitas dan kuantitas materi pembelajaran semata, tetapi juga keterlibatan orang tua dalam mendukung putra-putrinya.

Pascakegiatan ini rampung, saya berefleksi. Sepanjang proses pembelajaran itu, beberapa siswa begitu menonjol, di sisi lain ada yang kesulitan. Hal yang biasa baik di sekolah maupun di bangku kuliah, walaupun dapat menimbulkan iklim pembelajaran yang tak kondusif. Apalagi, para pengajar kita seringkali masih terpaku pada stereotip dalam memandang kecerdasan. Siswa atau peserta didik dinilai ‘pintar’ hanya jika unggul di materi eksakta serta dapat mendulang beragam piala bagi sekolah atau kampus. Sementara, mereka yang tak “berprestasi” dan cenderung biasa-biasa saja secara akademik dianggap “tak cukup” cerdas. Padahal, bisa jadi mereka punya kecerdasan lain yang tak terfasilitasi oleh institusi pendidikan untuk dituangkan dan dikembangkan.

“Apa sebabnya dan bagaimana cara mengatasinya?” Padahal setiap anak terlahir jenius, sehingga perlu dipupuk sesuai dengan kejeniusannya masing-masing. Seperti perumpamaan Ki Hajar Dewantara yang masyhur dikenal publik, “Padi berbuah padi, jagung berbuah jagung.”

Dari sekian jawaban, ternyata satu jawaban umum yaitu AKSES. Kebanyakan dari anak-anak yang unggul berasal dari keluarga yang secara finansial berada di level middle up. Mereka berkesempatan memperoleh layanan les, sekolah favorit, guru pembimbing, serta suplai peralatan pendidikan ini itu. Sementara, beberapa (tidak semua) yang agak keteteran, cenderung berasal dari kalangan middle down yang  tak mendapat fasilitas layanan, biasa lebih banyak bermainnya ketimbang belajar.

Akses inilah yang seharusnya disetarakan. Setiap anak dari kalangan apapun berhak mendapat akses pendidikan lengkap yang sama.

Perjalanan SP2KM benar-benar membuka peluang untuk menggali makna inklusivitas dan ekualitas pendidikan secara dalam. Ada banyak sekali puzzle acak yang saling melengkapi sehingga membentuk konstruksi dan konstelasi model pendidikan yang apik tanpa sekat-sekat segregatif. Mulai dari kolaborasi hingga akses, semuanya saling bertaut dan mustahil dipisahkan. Hal itulah yang masih perlu kerja keras berbagai pihak untuk mengupayakannya.

Mari terus menggemakan semangat kesetaraan pendidikan di manapun lewat beragam inovasi dan kerja-kerja kreatif. Tak ada perbaikan bila satu persatu dari kita tak mengusahakan timbulnya perubahan.