Kesetaraan Tidak Melulu tentang Akses, tapi Juga Pendidikan Moral

Oleh Yola Ninda Dwi Woro Dyah Sehnur

Agama sebagai sentral dari kehidupan masyarakat Indonesia nyata dalam bentuk pemberlakuan pendidikan agama bagi setiap siswa di setiap jenjang pendidikan, sekaligus menjadi salah satu syarat kelulusan siswa. Berdasarkan UU Nomor 2/1989 menjelaskan setiap peserta didik baik sekolah negeri maupun swasta wajib mendapatkan pendidikan agama sesuai keyakinan masing-masing.

Di dalam kurikulum pendidikan Indonesia, pendidikan agama sesungguhnya memiliki dua fungsi sekaligus. Pertama, sebagai pendidikan keimanan sesuai dengan kepercayaan setiap siswa. Kedua, sebagai pendidikan moral yang digunakan untuk mewujudkan manusia yang berbudi luhur.

Namun, penyerahan tanggung jawab pendidikan moral siswa hanya kepada mata pelajaran agama pada praktiknya bersitegang dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi nafas perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang berdaulat dan bermartabat.

Dari semboyan tersebut, keberagaman seharusnya telah menjadi nilai yang mendarah daging bagi setiap generasi. Namun, yang terjadi belakangan justru sebaliknya. Pendidikan moral yang hanya didasarkan pada pendidikan agama tertentu menjadi cenderung eksklusif dan membentuk cara pandang siswa yang hitam putih dan sempit dalam menghadapi perbedaan.

Moralitas siswa Indonesia menjadi terkungkung dalam atribut-atribut agama tertentu dan terjebak pada praktik menghakimi orang lain yang berbeda dengan dirinya atau kelompoknya. Siswa dengan agama mayoritas secara otomatis menjadi punya kuasa yang lebih kuat untuk melabeli orang dan kelompok lain salah atau benar berdasarkan ukuran moralitas agamanya.

Hal tersebut akhirnya mengakibatkan banyak diskriminasi dan intoleransi kepada siswa yang beragama minoritas, terutama di sekolah-sekolah negeri. Praktik yang paling banyak ditemukan adalah pemaksaan pemakaian atribut agama tertentu bagi seluruh siswa bahkan bagi siswa yang bukan penganutnya.

Kita dapat dengan mudah mencari beritanya di Google tentang hal ini. Kasus pemaksaan pemakaian jilbab bagi siswi di sekolah negeri ditemukan di berbagai wilayah, seperti: Padang, Bantul, DKI Jakarta, dan lain-lain. Jilbab dinilai sebagai standar moralitas yang baik bagi agama mayoritas sehingga para penganutnya memaksakan orang yang tidak seiman pun untuk mengikuti standar moral tersebut.

Tindakan lain yang seringkali dianggap wajar adalah tidak tersedianya fasilitas yang setara untuk perayaan hari besar untuk setiap agama yang dianut oleh setiap siswa. Seringkali di sekolah-sekolah negeri yang mayoritas siswanya beragama Islam, para pendidik tidak menganggap penting perayaan hari besar agama lain yang dianut oleh siswa mereka.

Pengalaman penulis sendiri sebagai alumni dari sekolah negeri, momen berdoa bersama untuk kepentingan besar seperti ujian kenaikan kelas atau ujian nasional hanya dilakukan menurut cara agama mayoritas, yaitu Islam. Sedangkan siswa yang beragama lain dituntut untuk menyesuaikan diri dengan acara tersebut tanpa difasilitasi kegiatan yang sama sesuai dengan kepercayaan mereka. Lagi-lagi, monopoli pendidikan moral oleh agama mayoritas mengakibatkan tindakan pengabaian terhadap kebutuhan siswa yang beragama minoritas.

Praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terhadap siswa beragama minoritas di lingkungan sekolah negeri telah mencerabut harapan tentang hidup damai dalam keberagaman. Bagaimana tidak, institusi sekolah negeri sudah sepatutnya menjadi miniatur masyarakat bagi para siswa agar nantinya dapat menjadi manusia dewasa yang tidak gagap dengan perbedaan.

Penulis sendiri banyak menjumpai guru-guru agama yang sangat menguasai pengajaran ilmu agama namun minim wawasan toleransi dalam keberagaman. Hal ini bisa menghambat prinsip kesetaraan tentang penghargaan dan fasilitas pembelajaran agama bagi siswa yang beragama minoritas. Sebab para pemangku kebijakan di sekolah negeri GAGAL membedakan persoalan keimanan dengan persoalan keberagaman.

Negara melalui sistem pendidikannya seharusnya dapat menjamin bahwa setiap siswa mendapatkan kesempatan yang setara dalam mendapatkan pendidikan agama yang mereka yakini secara maksimal. Sebagaimana yang diterangkan oleh James A. Banks yaitu “semua murid, apapun latar belakang jenis kelamin, etnis, ras, budaya, kelas sosial, agama, atau perkecualiannya harus mengalami kesederajatan pendidikan di sekolah-sekolah” (Rumahuru, 2018:62). Hal ini akan mendorong tumbuhnya rasa penghargaan dan pemahaman tentang keberagaman agama di Indonesia, sejak usia sekolah.

Kegiatan pembelajaran agama di Indonesia seharusnya bergerak untuk menjawab tantangan keberagaman yang makin fanatik belakangan ini. Selain itu, penggunaan pelajaran agama sekaligus sebagai pendidikan moral bagi siswa seharusnya mulai mengadopsi perspektif yang lebih inklusif.

Inklusifitas memerlukan pola pikir yang reflektif dan kritis dalam membaca kondisi sosial tentang keberagaman dan pengalaman pribadi yang berkaitan dengan pengalaman pengahayatan keimanan. Dengan demikian, para siswa tidak hanya mampu meningkatkan keimanannya melalui pendidikan agama di sekolah, juga dapat menemukan teladan-teladan yang mendorong sikap saling menghargai dalam keberagaman kepada sesamanya yang berbeda.

Daftar Pustaka

Rumahuru, Y. Z., 2018, Mengembangkan Pendidikan Agama Inklusif sebagai Solusi Pengelolaan Keragaman di Indonesia. Jurnal Teruna Bhakti, 1(1), 59-68.