
Sejak Soekarno menetapkan 21 April sebagai peringatan Hari Kartini di Indonesia, Hari Kartini diidentikkan dengan gerakan emansipasi di Indonesia. Namun, ironisnya praktik perayaan Hari Kartini selama ini selalu direduksi menjadi perlombaan perempuan yang ideal menurut konstruksi masyarakat patriarkis: lomba fashion show menggunakan kebaya dengan sanggul, lomba memasak, dsb.
Bukankah ini adalah bentuk pengarusutamaan domestifikasi perempuan, di mana nilai-nilai ini malah diterapkan dari bangku sekolah?
“Kegagalan” pembacaan Kartini dari kacamata masa kini
Dalam surat-suratnya, Kartini menuangkan keluh kesahnya sebagai anak perempuan seorang priyayi Jawa (Bupati), yang selalu diperlakukan sebagai manusia kelas dua setelah saudara laki-lakinya.
Meskipun Kartini sangat tidak suka terhadap pernikahan poligami ayahnya, tetapi ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus menikah dan menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Kejadian ini adalah “kegagalan” yang selalu disoroti oleh para feminis masa kini terhadap Kartini. Ketika feminis masa kini membaca pernikahan poligami Kartini sebagai sebuah kegagalan, maka sejatinya merekalah yang gagal dalam membaca Kartini, karena pembacaan dilakukan secara a-historis dan tercabut dari konteksnya.
Hal yang patut diingat, Kartini adalah seorang perempuan yang hidup pada zamannya, dengan setting sosial yang berbeda dengan kita yang hidup di era modern ini.
Kartini juga tidak pernah berniat untuk menerbitkan surat-surat korespondensinya dengan teman-teman Belandanya.
Mr. Jacques Henrij Abendanon, seorang Menteri Agama, Pengajaran dan Kerajinan Hindia Belanda yang pada tahun 1911 mengumpulkan surat-surat tersebut dan menerbitkan setelah Kartini meninggal.
Asumsi saya kompilasi surat ini ditujukan untuk pembaca Belanda dengan tujuan otokritik terhadap masyarakat Belanda sendiri bahwa Hindia Belanda jauh lebih progresif dalam isu feminisme.
Hal ini dapat dilihat dari cuplikan surat Kartini berikut:
—
“Sudah lewat masanya, tadi kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut sebagai peradaban?”
Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902
Kartini yang hidup dalam masa kolonialisme Belanda, meskipun berada dalam status sosial lebih tinggi ketimbang golongan pribumi, telah berani untuk mengkritik worldview Belanda.
Prof. Saskia Wieringa dari Universiteit van Amsterdam mengatakan bahwa sejarah Indonesia menghargai perempuan jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Wieringa melihat banyak perempuan Indonesia telah memiliki kesetaraan, hak politik dan bahkan banyak perempuan yang menjadi pahlawan dan memimpin di Indonesia.
Dalam rangka peringatan 20 tahun Jurnal Perempuan (2016), Saskia mengemukakan justru perempuan Belanda yang tidak memiliki hak politik dan pengaruh perempuan Belanda itulah yang membuat Indonesia kehilangan budayanya sendiri.
Konsekuensi logisnya adalah, gerakan feminis Indonesia seharusnya bukan berteriak tentang kesamaan hak melainkan berteriak tentang pengembalian budaya Indonesia yang sempat hilang terjajah.
Tulisan Kartini ini lalu menjadi lebih populer ketika Armijn Pane, menerjemahkan dan memberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” tahun 1922.
Apakah kita sudah berhasil?
Sejalan dengan makna emansipasi, tulisan Kartini yang fenomenal itu mengajarkan kita sebuah transformasi yang membawa pencerahan. Istilah transformasi berarti ada landasan kebebasan atau pencerahan dari “kebodohan” menuju “kecerdasan”.
Dalam bukunya berjudul Door Duisternis tot Licht, Kartini menuliskan kegelisahannya melihat perempuan Jawa yang terkungkung sedemikian rupa, terkhusus di dunia pendidikan.
Bila dibandingkan, Pendidikan Indonesia masa kini sudah berubah jauh dari masa Kartini dulu. Laporan Badan Pusat Statistik tahun 2021 menunjukkan fakta bahwa persentase penduduk perempuan (10.06%) mempunyai ijazah perguruan tinggi lebih banyak ketimbang laki-laki (9.28%).
Ketika dahulu Kartini menuntut pendidikan untuk kaum perempuan bukan dalam kerangka berpikir untuk menyaingi laki-laki, melainkan Kartini melihat kodrat perempuan sebagai ibu untuk terdidik menjadi penting karena sebagai pendidik pertama anak dalam keluarga.
Kenyataannya, saya yang bergerak di industri pendidikan melihat pendidikan di era modern ini memberikan tuntutan yang terlalu berat bagi naradidik. Sehingga seringkali sang ibu memutuskan untuk “menitipkan” pendidikan sang anak kepada sekolah, tempat kursus, bahkan pada google dan ChatGPT.
Selanjutnya, ketika Kartini membuka sekolah dasar pertama di Indonesia untuk gadis-gadis pribumi tanpa diskriminasi status sosial pada tahun 1903. Hal tersebut telah menunjukkan ada semangat women support women.
Coba kita bandingkan dengan semangat solidaritas perempuan di era modern. Saya pernah berjumpa dengan salah seorang teman, ibu rumah tangga dengan dua orang anak yang merasa bahwa dirinya salah karena dianggap kurang feminis oleh para aktivis feminis. Hal ini karena pilihannya untuk melakukan pekerjaan domestik ketimbang melanjutkan karirnya. Padahal sang ibu ini merasa nyaman menjadi ibu rumah tangga dan berbagi peran dengan suaminya.
Bila dikaitkan dengan emansipasi, bukankah berarti memberikan kebebasan pilihan bagi perempuan untuk menentukan apa yang dipandang baik olehnya?
Selanjutnya penelitian yang dilakukan UKJobs menemukan bahwa 63% perempuan lebih memilih bos laki-laki ketimbang perempuan. Meskipun sudah banyak ditemukan banyak pemimpin perempuan, tetapi tidak berbanding lurus dengan dukungan dari sesama perempuan.
Apakah saat ini perempuan malah melihat sesamanya sebagai serigala yang mengancam?
Bukan Penutup
Menafsir surat Kartini tidak akan pernah ada habisnya bila pembaca selalu berada dalam konteks yang terus berkembang.
Meskipun Kartini tidak bisa dipandang 100% sempurna, tetapi harus diakui Kartini berhasil membuka gerbang bagi feminisme kontekstual Indonesia.
Eman si(h) kalau membaca Kartini dari perspektif yang tidak sesuai konteksnya, tapi pas i kalau dibaca dengan dibarengi refleksi pribadi.
—
“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi.”
Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901
Kesimpulannya, bila dalam ibadah Kristiani di gereja selalu ditutup dengan perutusan umat di tengah dunia; sungguh bernilai kiranya bila kutipan surat Kartini di atas mampu menjadi perutusan kita.
Untuk terus menghidupi nafas dari Kartini dengan memberi semangat dan warna baru emansipasi masa kini.
***