Merupa Pendidikan Kepercayaan Marapu Untuk (Lebih) Inklusif Di Indonesia

Oleh Jear Nenohai, studi master Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pendidikan kepercayaan masih sangat awam dan kalah tenar dibanding dengan pendidikan agama, sebagai saudara tuanya. Sebagai sub pendidikan keagamaan, pendidikan ini melayani kebutuhan pendidikan bagi kelompok agama seperti komunitas Yahudi, Baha’i dan seterusnya, serta agama leluhur dan penghayat kepercayaan (indigenous religion) di Indonesia seperti agama Sunda Wiwitan, Agama Laut di Sulawesi, Marapu di Sumba, Kepercayaan Pangestu di Jawa, dan seterusnya.

Meski memiliki kemiripan dengan pendidikan agama dari segi pelaksanaan, pembedaan yang dilakukan oleh negara melalui regulasi; masih bisa dikatakan belum setara.

Awal mula pendidikan kepercayaan diimplementasikan dalam dunia pendidikan formal adalah sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan.

Sampai pada tahun 2020 tercatat 2868 peseta didik agama leluhur dan penghayat kepercayaan yang menerima layanan pendidikan kepercayaan di berbagai tempat di Indonesia. Tentu datanya masih terus berkembang hingga saat ini. Di daerah asal penulis, Nusa Tenggara Timur, kelompok agama Marapu di pulau Sumba sendiri sudah mendapat layanan pendidikan kepercayaan.

Di Sumba Timur, terdapat enam sekolah yang membuka kelas Pendidikan Kepercayaan Marapu antara lain SMA Negeri 1 Haharu, SMA Negeri 1 Kahaungu Eti, SMA Negeri 1 Rindi Umalulu, SMA Negeri 1 Rindi, SD Negeri Wainggai dan SD Negeri Nari.

Pelaksanaan pendidikan kepercayaan mendapat respon dari berbagai peneliti dan pemerhati isu agama leluhur/indigenous community di Indonesia. Kakak kelas saya di Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Anna Amalia dalam tesis masternya berjudul Pendidikan Kepercayaan: Menuju Pendidikan Agama Inklusif mengajukan catatan kritis terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 27 tahun 2016 sebagai asas legal dari pelaksanaan Pendidikan Kepercayaan.

Anna Amalia berpendapat bahwa Pendidikan Kepercayaan nyatanya dibangun dalam kerangka SEN (special education need). Kerangka SEN adalah pelayanan pendidikan yang diberikan sebagai bentuk pemenuhan kepada kelemahan atau kekurangan bawaan dari komunitas tersebut. Contoh kongkrit dari SEN adalah layanan pendidikan bagi masyarakat berkebutuhan khusus. Artinya, kebutuhan pendidikan seperti layanan komunitas berkebutuhan khusus diberikan karena ada kebutuhan bawaan yakni kondisi disabilitas.

Bagi Anna Amalia, SEN tidak cocok merepresentasikan kondisi agama leluhur dan penghayat kepercayaan. Kebutuhan pendidikan agama leluhur di Indonesia, selama ini masih ditindas ketidakadilan politik agama di Indonesia. Oleh sebab itu selama bertahun-tahun pendidikan agama di Indonesia hanya diberikan kepada enam agama resmi; Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu. Sementara itu, kenyataannya pendidikan agama leluhur tidak memiliki keterbatasan bawaan melainkan beban politik yang diciptakan oleh negara dan masyarakat Indonesia melalui politik pendidikan.

Sudah saatnya negara perlu bergerak menuju paradigma pendidikan agama inklusif bernafaskan EFA (Education For All) sebagaimana yang dicetuskan oleh UNESCO. Berbeda dengan SEN, EFA adalah paradigma pendidikan yang mungkin tercipta bila ditopang oleh sistem pemerintahan yang inklusif.

Bila pada SEN, agama leluhur di Indonesia hanya dipandang sebagai komunitas berkebutuhan khusus. Pada EFA, agama leluhur di Indonesia diangkat derajatnya menjadi hak warganegara.

Dengan EFA, pengakuan agama leluhur di Indonesia akan bisa setara dan sama dengan agama-agama lain di Indonesia, apalagi bila ditopang terlaksananya aturan dan layanan sosial yang adil bagi kelompok agama leluhur.

Seperti misalnya, penganut agama leluhur mendapatkan hak mereka untuk berkembang di tanah mereka tanpa takut dirampas negara. Setiap penganutnya mendapatkan layanan kesehatan, dan berbagai layanan publik (civil services) seperti layaknya seluruh warga Indonesia.

Jadi, pendidikan inklusif yang ideal dalam layanan pendidikan kepercayaan menunjukkan kondisi negara dan seluruh aparat yang ada di dalamnya ikut mengakui identitas dari peserta didik pendidikan kepercayaan di ruang kelas dan ruang publik. Sampai di sini, apakah kondisi demikian telah mencapai tahap inklusif? Jawabannya belum tentu.

Sebagai contoh, saya akan membawa kita menengok sedikit pengalaman diskriminasi kelompok Agama Marapu di Sumba yang sudah mendapatkan (secuil) layanan Pendidikan Kepercayaan.

Kepercayaan Marapu di Sumba merupakan salah satu agama leluhur jauh sebelum negara ini merdeka. Kepercayaan Marapu (selanjutnya Marapu) juga adalah satu dari sekian banyak agama dan kepercayaan lokal di Indonesia yang lama menderita karena mendapat perlakuan diskriminasi dari pemerintah plus masyarakat Indonesia.

Untungnya, sejak diluncurkannya PERMENDIKBUD no. 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan, sampai saat ini, sudah ada enam sekolah yang memberikan layanan pendidikan kepercayaan Marapu bagi Agama Marapu (Marapu Indigenous Religion).

Walau pendidikan kepercayaan Marapu mulai tumbuh subur di tanah Sumba, kekerasan yang dialami oleh kelompok pemeluk Marapu juga tak kalah subur. Tepatnya di Sumba Timur, sejak 2012, komunitas Marapu masih berjuang melawan dua korporat besar yang merampas hutan sebagai wilayah adat Marapu.

Selama bertahun-tahun komunitas Marapu terus berjuang merebut hutan mereka, sebab bagi orang Marapu hutan bukan hanya sebatas tempat mencari makan tetapi juga tempat pelaksanaan ritual (katoda). Serupa dengan berbagai agama dan kepercayaan lokal di Indonesia, hutan adalah tempat yang sakral. Bagaimana sikap pemerintah? Seperti yang sudah-sudah, hasilnya sampai saat ini masih nihil.

Dari kasus Marapu, kita dapat melihat bahwa kehadiran pendidikan kepercayaan belum mencapai tahap inklusif. Negara Indonesia, secara spesifik, pemerintah Nusa Tenggara Timur, belum konsisten memberikan layanan publik kepada komunitas Marapu sebagai warga negara. Meski negara sudah memungkinkan ketersediaan layanan Pendidikan Kepercayaan Marapu di sekolah, di luar kelas komunitas Marapu masih didiskriminasi oleh negara Indonesia. Tanah dan hutan orang Marapu dirampas dan dirusak oleh negara. Komunitas Marapu pun sampai hari ini masih berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai warganegara.

Belajar dari pengalaman Marapu di Sumba, saya berpendapat, bahwa hingga 2023, tahun ketujuh pasca penerbitan PERMENDIKBUD no. 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan, rupa pendidikan kepercayaan masih jauh dari kata inklusif. Meski sudah tersedia layanan pendidikannya di kelas, komunitas agama leluhur, seperti Marapu dan komunitas lainnya, di Indonesia tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan agama-agama lain di Indonesia.

Di ruang kelas, naradidik dari kelompok agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu) mendapatkan layanan pendidikan. Di luar kelas, meski tidak semua, komunitas dari enam agama tadi juga mendapatkan pemenuhan layanan publik secara simultan. Sementara, agama leluhur masih berproses untuk sampai tahap demikian.

Marapu (sampai saat ini) masih menjadi bukti kelompok agama leluhur, yang menjadi korban dari regulasi pendidikan kepercayaan yang belum inklusif di Indonesia.