Kita Mengajari Perempuan untuk Berani Melawan Kekerasan, Tetapi Sudahkah Kita Mendidik Laki-laki untuk Menerima Penolakan?

Oleh Angela Ranitta Kusumadewi

Semarang-Jawa Tengah

Belakangan ini, publik tengah dibuat resah oleh seorang pemuda berinisial YA. Namanya mencuat setelah sebuah video yang menunjukkan dirinya tengah membuat kegaduhan di Stasiun Manggarai, Jakarta. Dia pun melakukan perusakan di sebuah klinik milik dokter gigi berinisial AP, karena kesengsem dengan AP setelah menonton siaran Instagram live-nya dan mulai meneror perempuan tersebut secara online. Kedua berita itu demikian viral di media sosial.

Usut punya usut, pria asal Bontang, Kalimantan Timur itu memang hobi bikin onar di tempat umum. Sebelumnya, ia beberapa kali mengamuk di mal, hotel, dan kafe hanya karena masalah sepele. Ia juga pernah mengancam akan memperkosa kekasih temannya lantaran tak diberi pinjaman uang.

Saat ini, YA sudah diamankan oleh pihak kepolisian dan akan menjalani serangkaian tes kejiwaan karena adanya dugaan mengidap gangguan mental.

Kasus YA mengingatkan saya pada kisah selebriti Erika Carlina yang beberapa pekan sebelumnya juga viral di media sosial. Dalam sebuah video yang diunggah oleh kanal YouTube Cretivox, Erika mengungkapkan dirinya pernah hampir menjadi korban pemerkosaan saat menggunakan jasa transportasi online.

Pemeran Putri dalam film “Tulah 6/13” itu lantas berpura-pura menggoda pelaku dengan mengajaknya ke hotel. Sesampainya di sana, ia segera meminta pertolongan satpam dan pelaku pun dilaporkan ke polisi.

Pengakuan Erika Carlina tersebut mendorong banyak korban kekerasan seksual untuk ikut angkat bicara tentang pengalamannya. Beberapa di antaranya mengaku terpaksa meladeni pelaku karena takut dianiaya atau dibunuh.

Baik kejadian yang menimpa AP maupun Erika Carlina membuat saya teringat akan sebuah wejangan yang sering disampaikan oleh Bapak sejak saya masih remaja. Beliau kerap mengingatkan saya untuk menjaga tindakan saat sedang berinteraksi dengan laki-laki. Sebab, ketika seorang laki-laki merasa sakit hati, mereka akan menghalalkan segala cara untuk membalaskan dendamnya.

Awalnya, saya merasa kesal mendengar nasehat Bapak. Beliau terkesan memberikan justifikasi terhadap “kaum”-nya dan lagi-lagi perempuan yang dituntut untuk memaklumi ulah biadab laki-laki. Namun, seiring berjalannya waktu, mau tidak mau saya mengakui bahwa ucapan Bapak bukanlah tanpa alasan.

Ketika terjadi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, kita kerap mendengar pertanyaan,”Mengapa korban tidak menolak?” Bahkan beberapa hari sebelum menulis ini, saya tak sengaja membaca sebuah cuitan bernada serupa di Twitter.

“Sebenernya kasus2 kayak sex diluar nikah gini/zina ga bakal kejadian kalo ceweknya nolak.. kuncinya di perempuan sih, kalo kalian tegas nolak, cowok ga bakal  berani.”  

Faktanya, melakukan penolakan terhadap laki-laki tak semudah teorinya. Tak terhitung berapa kali kita dibuat gempar oleh kasus pembunuhan terhadap perempuan yang berawal dari penolakan korban terhadap pelaku.

“Tolak Ajakan Nginap, Seorang Wanita Tewas Ditusuk”

“Wanita Tewas Dibunuh di Cimahi karena Tolak Berhubungan Badan”

“Kronologi Ibu Muda Kediri Dibunuh Teman Suami karena Tolak Ajakan Bercinta”

 

Budaya patriarki menempatkan laki-laki pada posisi yang jauh lebih superior daripada perempuan. Laki-laki terbiasa menjadi sosok yang dominan dalam segala  aspek, mulai dari pekerjaan sampai hubungan asmara. Di sisi lain, perempuan dididik untuk menjadi manusia yang inferior dan patuh.

Masih banyak laki-laki yang kesulitan untuk sekadar membayangkan sosok perempuan yang berdaya, dalam arti menunjukkan sifat mandiri, tegas, dan tangguh. Hal itu kerap dianggap membahayakan supremasi laki-laki. Itulah sebabnya laki-laki cenderung merespons penolakan perempuan secara agresif. Mulai dari meneror, mengancam, menganiaya, hingga membunuh.

Hal ini diperkuat pula oleh adanya anggapan populer bahwa perempuan menolak laki-laki hanya untuk menciptakan citra sebagai perempuan yang tidak gampangan. Tidak sedikit orang yang menganggap perempuan hanya ingin menguji sejauh mana perjuangan seorang laki-laki untuk mendapatkan hatinya. Akibatnya, banyak laki-laki yang menginterpretasikan penolakan sebagai sinyal untuk berusaha mengejar perempuan lebih keras lagi.

Fenomena ini lantas membuat saya mengambil sebuah konklusi yang menyedihkan; bahwasanya perempuan tak benar-benar punya pilihan untuk menolak laki-laki. Ketika menolak secara halus, tak sedikit laki-laki yang tidak mengerti, atau tidak mau mengerti. Namun, saat hendak menolak dengan tegas, seringkali keselamatan kita sendiri yang jadi taruhannya.

Sifat agresif laki-laki yang muncul saat menerima penolakan juga berawal dari budaya patriarki yang memandang kekerasan sebagai simbol maskulinitas.

Laki-laki tidak dibiasakan mengekspresikan dirinya secara sehat. Contohnya, kita sering menyaksikan laki-laki yang dilarang untuk menangis dan menunjukkan kesedihan, semata-mata karena ia memiliki identitas sebagai laki-laki. Karena itulah laki-laki  lantas menumpahkan perasaannya dengan tindakan-tindakan yang agresif dan sarat akan kekerasan.

Maka dari itu, tidak cukup rasanya apabila kita hanya mendorong perempuan agar berani melawan kekerasan berbasis gender. Kita perlu mendidik laki-laki untuk belajar menerima penolakan.

Bagaimanapun, permasalahan seputar kesetaraan gender bukan hanya tanggung jawab perempuan saja. Laki-laki juga perlu ambil bagian dalam mewujudkan emansipasi.

Tentu saja, hal ini bukanlah hal yang mudah. Sebab, seperti menanggalkan supremasi mereka di atas perempuan, juga harus mengorbankan ego sebagai laki-laki yang selama ini selalu menjadi individu atau kelompok yang dominan dan superior.

Namun, laki-laki perlu menyadari bahwa kesetaraan gender akan membawa pengaruh positif bagi setiap orang tanpa terkecuali. Dalam dunia yang setara dan inklusif, laki-laki menjadi tak perlu malu untuk mengekspresikan perasaannya secara jujur dan apa adanya. Laki-laki juga tak perlu merasa terancam ketika ada orang lain yang lebih dominan darinya, sehingga mengalami dorongan untuk berkompetisi secara tidak sehat dan melakukan kekerasan.

Bila emansipasi terwujud dengan situasi kondisi demikian, laki-laki dapat menjadi dirinya sendiri tanpa perlu merasa terbebani oleh ekspektasi budaya patriarki terhadap maskulinitas.

Perayaan Hari Kartini ini dapat menjadi pengingat tentang jalan panjang untuk mewujudkan emansipasi. Dan yang  terpenting, upaya mencapai kesetaraan gender bukan hanya PR bagi perempuan dan kelompok marjinal saja, melainkan juga laki-laki.

Selamat Hari Kartini!