“Meninggalkan” Paradigma Toleransi: Bulan Puasa Sebagai Momen Solidaritas Antarumat Beragama

Oleh Jear Nenohai, mahasiswa studi master pada Center For Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada.

Jauh sebelum bulan puasa tiba, saya sudah mendengar kabar bahwa kantin Sekolah Pascasarjana-UGM akan tutup. Sebagai umat Kristen, pikiran saya pun mulai bertamasya ke berbagai pertanyaan.

Kalau puasa harus mencari makan di mana? Apakah mencari makan di area Pogung mudah tidak? Kalau ada warung buka, apakah harganya normal? Kira-kira apa boleh saya minum di depan teman-teman saat di kelas? Dan masih banyak rentetan pertanyaan lain.

Hari berganti dan momen puasa pun tiba yang berarti awal dari hari kantin ditutup pun tiba. Mulai tanggal 22 Maret sampai nanti sesudah lebaran, kantin pasca yang biasanya ramai itu sepi seperti kuburan. Benar-benar berbeda dari hari biasanya.

Teman kuliah saya yang menjalankan ibadah puasa memahami beban kami, yang non muslim, terkait kantin pasca yang dinonaktifkan selama bulan puasa. Mereka pun beberapa kali malah memberi tahu tempat makan yang tetap buka.

Teman-teman Muslim yang lain malah mendorong kami untuk makan dan minum seperti biasanya di kelas. Betapa bahagianya saya sebab teman-teman saya nyatanya menunjukan bentuk kepedulian kepada kami yang tidak berpuasa.

Tak hanya sampai di situ, tahu-tahu saya menemukan bahwa kesulitan mencari makan bukan hanya dialami mahasiswa penganut agama yang tidak berpuasa, melainkan juga dirasakan rekan-rekan Muslimah yang sedang mengalami masa siklus kewanitaan, atau semisal mereka yang mendadak jatuh sakit. Artinya, berbagai kendala seperti kesulitan mencari makan dan sebagainya juga dirasakan oleh kawan-kawan umat Islam.

Lebih jauh lagi, saya juga menjadi paham bahwa teman-teman Muslim juga merindukan suasana kantin yang ramai. Kantin nyatanya bukan hanya tempat makan. Bagi mahasiswa Pascasarjana, kantin adalah ruang hospitalitas: tempat berbagi ide-ide baru dalam bentuk diskusi, berbagi keluh kesah, dan ruang mengistirahatkan diri dari penatnya kuliah.

Artinya, fenomena efek samping dari puasa seperti tutupnya kantin sebetulnya juga ada dalam pikiran teman-teman saya yang beragama Islam. Saya mengira bahwa hanya umat non-Muslim, seperti saya, yang merasakan kesulitan untuk mencari makan-minum serta kehilangan ruangan hospitalitas (kantin). Nyatanya, sahabat saya kaum Muslim pun turut berbagi kendala yang sama.

Dalam pengalaman saya bergaul bersama teman-teman saya yang berpuasa, rekan-rekan Muslim ternyata turut bersolidaritas bersama kami. Karenanya, bulan puasa mesti dimaknai lebih dari sekadar toleransi seperti yang sangat sering terjadi di Indonesia ini.

Umum terjadi, atas nama toleransi warung-warung harus tutup agar kelancaran berpuasa bagi umat muslim dapat terlaksanakan. Demi toleransi,  kelompok non-Muslim tidak boleh makan dan minum di depan kelompok Muslim. Karena toleransi, pedagang-pedagang makanan seolah tak apa mendapatkan perlakuan kekerasan seperti sweeping dan lain sebagainya.

Paradigma toleransi semacam ini bukankah justru memperlihatkan besarnya tirani mayoritas kepada kelompok mintoritas. Lantas bagaimana dengan teman Muslim yang masih berjuang mencari nafkah dengan berjualan makanan di saat bulan puasa?

Dalam hal toleransi yang berujung kekerasan seperti contoh-contoh tadi, saya sepemahaman dengan Diana Eck, dalam karya monumentalnya tentang pluralisme, Is Our God Listening?

Toleransi di bulan puasa seolah memosisikan kelompok minoritas mesti hidup dalam tirani menahan diri untuk tidak leluasa makan dan minum di hadapan mayoritas, kaum Muslim yang berpuasa. Keutamaan toleransi kala bulan puasa berarti yang sedikit harus mengalah. Namun, dari situasi kantin Pascasarjana itu menunjukkan hal yang berbeda tentang toleransi dan kerukunan umat beragama.

Kementerian Agama memang mengimbau upaya toleransi setiap tahunnya di bulan puasa. Namun, paradigma yang terjadi, bagi saya yang minoritas, hal itu hanyalah fatamorgana dan kiasan belaka.

Yang kerap terjadi atas nama toleransi malah memutus tali kerukunan umat beragama pada level mikro dan makro. Toleransi seperti menciptakan penindasan baru terhadap kaum minoritas dan kelompok mayoritas di saat bersamaan.

Dalam hemat saya, bulan puasa lebih tepat dimaknai sebagai momen solidaritas antar umat beragama. Sebab rekan-rekan saya yang beragama Islam juga turut merasakan ‘beban’ yang sama dengan kami yang tidak berpuasa, seperti penjelasan saya di atas.

Solidaritas tersebut lahir dari kesadaran umat Muslim untuk menghargai hak kelompok yang tidak berpuasa, dan kami menghargai hak mereka untuk tetap berpuasa. Solidaritas menciptakan kesetaraan dan sikap menghormati yang lebih tulus dan luhur. Solidaritas mewujudkan sikap menghargai, tanpa memaksa satu sama lain untuk mengikuti aturan main kelompok tertentu, berdasar alasan keunggulan kuantitas.

Solidaritas membangkitkan kesadaran kita bahwa tetap ada umat Islam yang memerlukan kehadiran tempat makan sebagai ladang mencari nafkah, ruang untuk kebutuhan dialog, serta tempat makan-minum bagi yang berhalangan.

Lebih lanjut, solidaritas juga memupuk kesadaran akan perbedaan hak antar pemeluk agama, menjadi landasan sikap menghargai hak antarumat beragama. Kelompok Muslim dapat menghargai hak kelompok non-Muslim untuk tetap makan dan minum seperti biasa. Kelompok non-Muslim pun juga tetap bisa menghargai hak kelompok Muslim untuk berpuasa.

Bukankah hal itu demikian indah, sebagai wajah relasi antar beragama di Indonesia selama bulan puasa berlangsung?