Ramadan dan Lebaran di Pulau Seribu Benteng

Oleh Husna Farah

Ramadan selalu menjadi kabar gembira di setiap tahunnya. Setidaknya itu yang dirasakan kebanyakan umat Muslim. Suka cita dalam bulan penuh kerberkahan dan tantangan. Ya, puasa, tantangan dari hal yang biasanya umum dilakukan tetapi ditahan selama beberapa waktu demi Sang Maha Kasih.

Tahun ini saya sungguh beruntung. Tantangan puasa saya rasakan dalam suasana yang berbeda, karena tugas internship dari Kementerian Kesehatan di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.

Suasana Ramadan tentu berbeda di kepulauan. Terutama di Pulau Buton, pulau di Sulawesi, dengan benteng terluas di dunia. Namun, ini bukan tentang benteng.

Ramadan di Pulau Buton menjadi menarik. Khususnya di tempat saya bertugas selama 1,5 bulan terakhir. Di Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton, penanda sahur tanpa pengeras suara surau atau segerombolan orang yang berteriak membangunkan. Hening.

Ah, sudah lama saya mencari Ramadan semacam ini. Beruntung saya mendapatkannya dari tempat internship. Hanya terdengar suara mengaji sekitar 10 menit menjelang azan subuh.

Namanya daerah kepulauan, tentu cuaca dan suhu selama Ramadan kemarin cukup panas. Hanya beberapa kali saja hujan mengguyur sejak pagi. Istimewanya terik siang di sana tidak disertai bising kendaraan berdempet ria di siang bolong dengan deru knalpot, plus klakson khas kota besar di Jawa.

Beralih ke suasana menjelang magrib. Marak berita war takjil di berbagai tempat, tak berimbas di Kapontori. Mencari takjil tidak terlalu kompetitif bahkan terbilang sepi. Entah mungkin karena populasi yang tidak begitu padat. Setidaknya itu kesan yang terlihat di tempat saya berdinas selama satu bulan ini.

Menu berbuka puasa yang menjadi primadona, masih aneka gorengan dengan minuman es pisang ijo. Meskipun sepi, jika tidak cepat datang, sudah habis juga. Tapi saya lebih senang melihat dagangan habis ketimbang bersisa.

Hal menarik lainnya, buka puasa yang ditandai sirine, bukan azan magrib yang baru berkumandang sekitar 10 menit setelahnya. Jemaah tinggal berangkat ke masjid, karena hidangan berbuka puasa disediakan setiap hari. Jadi usai berbuka bersama di masjid, ketika azan berkumandang, bisa langsung ikut salat berjemaah di masjid juga.

Suasana bulan suci di Buton menjadi syahdu dan sederhana. Kita tidak perlu ribet atur budget untuk buka bersama alias bukber. Kalaupun buka bersama, semua sudah disediakan bersama oleh warga

Warga sekitar yang cenderung “masak sendiri” untuk menu ramadannya, mendorong anak rantau seperti saya, “masak sendiri” juga karena jarang orang berjualan makanan jadi untuk berbuka dan sahur. Betapa khidmat dan hemat puasa kali ini.

Setelah melewati 29 hari bulan Ramadan, keseruan momen Idul Fitri sungguh dinantikan. Apalagi saya tidak mudik ke kampung halaman.

Malam jelang Idul Fitri begitu tenang. Tidak ada takbiran keliling. Hanya di beberapa surau saja terdengar gema takbir. Sisanya mungkin di rumah masing-masing sedang sibuk menyiapkan makanan khas Idul Fitri.

Saya dan teman-teman di kontrakan pun turut riuh memasak mengikuti rekomendasi Youtube, ketupat opor dan sambal goreng ati. Alhamdulillah masih bisa dinikmati, meskipun tidak seenak buatan Ibu di rumah.

Pagi hari setelah salat Id, saya dan teman-teman memenuhi undangan makan dari warga sekitar. Ya, demikian banyaknya undangan makan bersama sekaligus ikut mendapat bingkisan atau yang sekarang populer disebut hampers lebaran. Wah, tugas merantau saya ternyata tak kalah nikmatnya dengan yang mudik ke kampung halaman.

Menu hari raya Idul Fitri di sini juga bukan ketupat, melainkan lapa-lapa, seperti lemang sebutan di Sumatera. Untuk pendampingnya bisa opor atau disajikan bersama coto makasar. Semuanya enak dan berkesan.

Tidak terlupa ada banyak kue-kue khas lebaran di sini yang kebanyakan buatan sendiri. Setidaknya itu yang dituturkan Ibu Lurah, ketika saya berkesempatan berkunjung ke rumah Beliau di Baadia, Kota Bau-bau.

Sungguh pengalaman Ramadan dan Lebaran di Buton tahun ini luar biasa. Meskipun sempat ikut berduka cita dengan berpulangnya Sultan Buton ke-40 pada 27 Maret 2024 lalu, ini juga menjadi momen bagi kami untuk lebih mengenal daerah Kesultanan di Indonesia yang ternyata satu-satunya tidak pernah terjajah sepanjang berdirinya.

Selain momen Ramadan dan lebaran, sebenarnya banyak sejarah dan tradisi yang menginspirasi dan membuat saya betah di sini. Pas sekali seperti semboyan daerahnya, “Buton selalu di hati”.

Meski telah berlalu, ijinkan saya menghaturkan; selamat lebaran penuh kebahagiaan, minal aidin wal faizin.