“Boru Bawa Damai” – Refleksi Isu Gender untuk Perempuan Pelaku Terorisme

Menghormat bendera itu haram.
Menghormat bendera itu bisa merusak akidah.

Pernyataan provokatif milik Kartini Panggabean menjadi bukti betapa fanatismenya akan sebuah paham, telah melesatkan sosok perempuan ini ke garda depan terorisme.

Menilik nama perempuan yang sesuai dengan tokoh emansipasi ternyata memosisikan diri setara dengan suaminya berpegang pada paham radikal, jauh sebelum peristiwa perampokan Bank CIMB Niaga dan penyerangan kantor polisi Hamparan Perak.

Walau dia tak lalu berperan sebagai martir atau kurir, Kartini telah menjejalkan paham radikal sekian lama kepada anak-anak yang dididiknya bersama suami di sebuah pesantren dulu.

Bila kemudian dia berbalik arah sejatinya adalah hal yang muskil menurut kita. Sesungguhnya bila alasan-alasan berbalik arah menjadi kontra terorism, diungkap sedikit demi sedikit dalam film, akan makin mencuatkannya sebagai film yang istimewa.

Karena tindakan Bu Kartini yang kemudian membangun Mushola sebelum akhirnya membuat sekolah gratis untuk anak-anak napiter (narapidana teroris), hal itu adalah ketidakmungkinan.

Apalagi kemudian sekolah yang dibangunnya kini berkembang menjadi sekolah umum, yang justru mengajarkan anti kekerasan dan terorisme.

Demikianlah kesan yang saya tangkap dalam film pendek Boru Bawa Damai, garapan teman-teman Srili Jogja, PSKP UGM, Wahid Foundation, Google dan UNDP.

Ketika dibuka dialog seputar film oleh narasumber Dr. Najib Azca, Rani Dwi Putri maupun penanggap Dr. Arifah Rahmawati pada acara Mini Launching film “Boru Bawa Damai, hari Minggu, 27 Maret di Yogyakarta , isu yang lalu terungkap mengarah kepada peran patriarki dan ketimpangan gender yang menyebabkan seorang perempuan beralih haluan mengikuti gerakan kaum radikal bahkan teroris.

Bagaimana kepatuhan seorang istri kepada suaminya untuk tidak menanyakan apapun yang dikerjakannya, menjadi prasyarat untuk pernikahan kaum radikal. Mereka merasa istri tersebut baru bisa mendukung gerakan, bahkan ikut menjadi pelaku terorisme.

Hal yang lebih menarik ketika ambisi untuk diperhitungkan atau kesetaraan di dunia lelaki, menjadi alasan perempuan juga untuk masuk kelompok radikal. Belum lagi iming-iming bahagia dunia akhirat, setelah didera kekurangan dari sisi finansial.

Jadi, tak heran bila dalam beberapa kasus terorisme terakhir, pelaku martir, kurir maupun penyusup makin diwarnai kehadiran perempuan, yang diasumsikan mampu mengurangi kemungkinan dicurigai aparat.

Di akhir diskusi, tanpa disadari hadirin bersepakat. Di balik sosok yang lembut dan seperti tak mampu berbuat anarkis, perempuan pun bisa menjadi agen kekerasan. Dengan cara dan metodenya tersendiri, serta punya kemampuan yang mungkin sama setaranya dengan menjadi agen perdamaian.

Meski penulis tetap percaya, women power yang diarahkan, difasilitasi dengan bijak, mampu membangun sebuah generasi baru, bahkan mewariskannya ke generasi selanjutnya. Bahkan hari itu saja, teknis penyelenggaraan acara Mini Launching 90% dikerjakan dan diorganisasikan perempuan.