Oleh Nuraini Chaniago
Beberapa waktu lalu, saya bersama teman-teman satu organisasi mengadakan seminar dengan tema “Perempuan Memimpin, Kenapa Tidak?” Di tengah acara, seorang laki-laki yang hadir secara lantang menolak bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin lengkap dengan dalil-dalilnya sekaligus. Menurutnya, perempuan itu lemah, segala sesuatu biasa memakai perasaan, tidak bisa mengambil keputusan, dan sebagainya. Ia menyimpulkan bahwa tidak mungkin perempuan mampu menjadi pemimpin, bahkan secara kodrat perempuan harusnya dipimpin bukan memimpin.
Jujur saja, saat mendengar kalimat di atas, saya bertanya dalam hati. Apakah menjadi perempuan di negeri ini sebegitu tidak berharganya? Bahkan untuk menjadi pemimpin, perempuanmasih harus meminta persetujuan dari laki-laki.
Peristiwa itu membuka mata saya, bahwa pembahasan tentang kepemimpinan perempuan, baik di ranah publik maupun domestik masih menjadi isu hangat untuk dibicarakan banyak kalangan. Tak hanya kalangan akademisi dan praktisi, tetapi juga generasi muda. Ada yang mendukung, namun tidak sedikit juga yang menolak kepemimpinan perempuan dengan berbagai alasan.
Meskipun secara teoritis masyarakat Indonesia sudah memberikan hak dan akses yang sama kepada laki-laki dan perempuan di ranah domestik maupun publik, realitasnya masih jauh panggang dari api.
Bila kita menganalisa dari perspektif Islam, setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah pemimpin; setidaknya pemimpin bagi dirinya sendiri (QS. An-Nisa: 34). Sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, Islam juga memberikan kesempatan yang sama, kepada laki-laki dan perempuan untuk mencapai derajat yang lebih tinggi tanpa diskriminasi, termasuk menjadi pemimpin di ruang publik, seperti kepala daerah, bahkan kepala negara.
Dalam sejarah Islam, istri Rasulullah SAW, yakni Aisyah, juga pernah berperan sebagai pemimpin bahkan dalam peperangan (Syaikh Mahmud al-Misri: Kitab Shirah Shahabiyah).
Islam juga membahas perempuan ataupun laki-laki untuk sama-sama ditunjuk sebagai khalifah fi ardi yang menjadi wakil Nabi dalam menjaga dan merawat bumi ini (QS. Al-Baqarah: 30). Tentu hal ini diikuti oleh konsekuensinya masing-masing, yaitu memiliki potensi serta tanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Selagi memiliki kemampuan, tanggung jawab, keahlian, serta demi kemaslahatan yang dipimpinnya, maka perempuan pun sama seperti lelaki: boleh saja menduduki kepemimpinan.
Sebagai Muslim, saya rasa perlu mengambil pelajaran dari berbagai kisah pada zaman jahiliah yang tidak memanusiakan kaum perempuan. Sebelum Islam hadir, kedudukan perempuan sungguh menyedihkan. Hak kekuasaan perempuan yang belum menikah dimiliki oleh ayah dan saudara laki-lakinya, dan setelah menikah maka haknya menjadi milik suaminya (Hermeneutic Gender: M. Fisol). Bahkan kelahiran anak perempuan pada masa itu dianggap aib yang dapat berujung segera dikubur hidup-hidup.
Perempuan yang bisa tumbuh dewasa pun kehidupannya akan terus dalam kehinaan tanpa kemuliaan sedikitpun. Tak hanya itu, ketika mereka dewasa, perempuan kelak menjadi alat untuk memenuhi nafsu para laki-laki, dan dianggap biasa mendapatkan tindakan pelecehan.
Begitulah kondisi perempuan pada masa sebelum datangnya Islam: tidak mendapatkan ruang aman, tidak diberlakukan adil layaknya manusia, dan dianggap sebagai mahkluk hina yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Bahkan perempuan benar-benar dianggap sebagai hewan peliharaan yang bebas diberlakukan sebagaimana pemiliknya.
Kelahiran Nabi Muhammad sebagai utusan Allah kelak menjadi titik awal terangkatnya derajat serta harkat dan martabat kaum perempuan. Mereka bukan lagi sebagai makhluk nomor dua, tapi sama dengan laki-laki di hadapan Allah. Perbedaannya hanya ada tingkat ketakwaan, sebagaimana Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13. “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Mempelajari dan memaknai semua itu, saat ini kita tidak bisa lagi menyamakan kondisi dahulu dengan sekarang, perihal kiprah laki-laki dan perempuan; hanya berdasarkan jenis kelamin semata.
Dunia telah berkembang begitu pesat, begitupun dengan ilmu pengetahuan. Akses pendidikan kini tak lagi hanya untuk laki-laki , tetapi juga untuk perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama untuk menempuh pendidikan di institusi di mana pun, sejauh dan setinggi apa pun ia mampu, selama mereka sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya.
Dengan kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan, stigma perempuan yang lemah dan tak mampu menjadi pemimpin, atau dianggap selalu menggunakan perasaan, plin-plan dan lain-lain sudah tidak relevan lagi. Banyak perempuan yang memiliki kepintaran, keahlian untuk memimpin, menggunakan kebijaksanaan dalam bertindak, serta bersikap tegas dan menimbulkan kebermanfaatan bagi yang mereka pimpin.
Di penghujung tulisan ini, saya ingin kita sama-sama berefleksi, bahwa kodrat perempuan perihal urusan domestik, atau hanya dipimpin oleh laki-laki, seharusnya tak ada lagi. Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan terhadap perempuan sejatinya tidak pernah mengajarkan bahwa perempuan adalah milik suaminya, yang ketika suaminya meninggal, bak barang bisa diwarisi kepada saudara laki-lakinya.
Oleh karena itu, sudah semestinya kita memahami ajaran Islam secara kaffah-menyeluruh- tidak hanya secara teks, tetapi juga secara konteks. Agar kita tidak terjebak dalam penafsiran-penafsiran ajaran agama yang justru merugikan kemanusiaan, baik laki-laki maupun perempuan. Begitupun ketika kita memandang isu-isu perempuan, lihatlah ia sebagaimana manusia utuh yang harus diperlakukan layaknya manusia, bukan sebagai objek semata.