Si Paling Toleran (katanya)

Siang itu, 25 Maret 2023, Yogya diguyur hujan lebat. Beberapa sungai mulai naik debit airnya, bahkan alarm Kali Code mulai berbunyi, tanda debit air sudah melebihi batas.

Makin sore, hujan tak kunjung berhenti. Aku mulai ragu untuk pergi ke Novisiat. Ya, sore ini, aku bersama teman-teman Srili-Srikandi Lintas Iman akan mengadakan inaugurasi dan buka bersama. Tapi, kalau aku nggak ikut, aku nggak bisa ketemu suster-suster nih, kataku dalam hati. Sosok suster memang selalu menarik bagiku.  Dengan perasaan khawatir aku menanti hujan yang tak kunjung reda.

Grup WhatsApp panitia onboarding Srili sudah mulai ribut. Masing-masing melaporkan keadaan hujan di wilayahnya. Aku makin khawatir, karena acara akan dimulai pukul empat. Namun, setengah jam sebelumnya, hujan belum juga reda. Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada, Bupen (sebutan untuk koordinator Srili) memutuskan untuk menunda acara sampai pukul lima. Syukurlah, batinku.

Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya aku memutuskan untuk memesan Grab Car. Sembari aku menunggu driver-nya datang, tiba-tiba ada pesan masuk.

“Arin, sudah di novisiat, belum?” begitu pesan teks Teteh (Teh Wiwin, co-founder Srili) hendak mengirimkan ayam crispy untuk buka bersama nanti.

“Arinaaa. Kamu sampai novisiat jam berapa? Aku mau kirim Chiffon cake.” Pesan teks dari Mbak Nina menyusul kemudian.

Sepertinya aku harus segera sampai Novisiat. Sejujurnya ini akan jadi pengalaman pertamaku ke sana. Dulu seringkali berkegiatan di Syantikara, milik CB juga. Aku mengiyakan hadir ke Novisiat pun karena posisi kos-ku yang dekat sekali. Hanya 5 menit jarak tempuhnya.

Sesampainya di Novisiat, hujan belum juga reda. Aku bingung karena tak terlihat orang-orang, dan suster yang kukontak tak bisa dihubungi. Aku makin panik. Setelah towaf, berjalan dari ujung ke ujung mencoba mencari orang, akhirnya datanglah mobil yang di dalamnya ada beberapa suster.

“Dari Srili ya, Mbak?” sapa salah satu Suster dengan ramah.

“Iya, Suster. Acaranya di mana ya?” tanyaku. Walaupun aku lupa menanyakan namanya, dengan ramah Suster itu menjelaskan lokasi acaranya.

“Di gedung sebelah, Mbak.”

Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegeas menuju gedung sebelah, dan betapa terkejutnya aku ternyata tempat untuk acara buka bersama telah disiapkan suster. Tak lupa, tulisan selamat berbuka puasa juga menghiasi aula tempat kami berkegiatan.

Selang beberapa waktu kemudian, teman-teman mulai berdatangan. Tak lupa aku menghubungi Teteh dan Mbak Nina untuk memastikan titipan mereka. Beberapa menit kemudian, dari kejauhan ada abang ojol yang parkir di depan Novisiat, dan segera kuhampiri.

“Pesanan atas nama Wiwin, ya, pak?”, tanyaku ke abang Grab yang masih sibuk melihat ponselnya.

Bukannya menjawab pertanyaanku, abang itu malah balik bertanya, “Ada acara apa di sini, Mbak?”,

“Ada buka bersama, Pak,” jawabku singkat.

“Buka puasa? Di sini?” Abang Grab melihatku dengan muka kaget. Mungkin dia tak mengira acara buka puasa akan berlangsung di tempat Suster.

Abang Grab sesungguhnya bukan orang pertama yang kaget dengan kegiatan yang diadakan Srili di berbagai tempat ibadah. Beberapa orang masih melihat berkegiatan di tempat ibadah orang lain merupakan hal yang aneh.

Aku jadi teringat DM temanku beberapa waktu lalu.

Rin, aku cuma sekadar mengingatkan, kita boleh toleransi tapi jangan sampai berlebihan, ya. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Ayo mulai menyibukkan diri lagi ke hal yang bermanfaat untuk akhirat kelak. Demikian pesan teks DM yang masuk ke Instagramku. Ya, dia mengomentari beberapa status yang sering aku bagikan mengenai kegiatan Srili.

DM itu bukan yang pertama aku dapatkan semenjak menjadi bagian Srikandi Lintas Iman. Bahkan, beberapa orang menegurku langsung.

“Ngapain, sih, ke gereja? Kayak nggak ada tempat lain aja”

“Aku kok ngeliat kamu kayak si paling toleran …“

Temenku menertawakanku yang berkegiatan di rumah ibadah agama lain.

Ketika di luar sana banyak yang meremehkan kegiatan Srili bahkan mencibir, hari itu aku malah mendengar suster-suster di Novisiat berdoa untukku dan teman-teman Muslim. Betapa terkejutnya aku, ketika suster dalam doanya menyebutkan kami.

“Tuhan berikan kekuatan dan kesabaran kepada saudara kami, umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan ini. Kabulkanlah doa kami, ya, Tuhan.”

Aku terkesima. Sebagai umat Islam saja belum pernah sepertinya aku mendoakan teman-teman non-Muslim untuk khusyuk beribadah. Namun, hari Sabtu itu, aku dan teman-teman menyaksikan sendiri suster mendoakan kebaikan kepada orang-orang yang meminta membongkar patung Bunda Maria.

Ya, tanggal 22 Maret 2023 kemarin, terjadi insiden penutupan patung Bunda Maria dengan kain terpal di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus di Kulon Progo. Awalnya sekelompok orang dari ormas yang berafiliasi dengan parpol Islam meminta pengelola rumah doa untuk membongkar patung Bunda Maria, dengan alasan patung tersebut mengganggu kekhusyukan ibadah puasa umat Islam. Sebuah alasan yang aneh. Kok bisa sebuah patung mengganggu kekhusyukan puasa? Apakah patung Bunda Maria seperti es doger yang menggiurkan di siang hari?

Sejujurnya ini bukan pertama kali umat Katolik mendapatkan diskriminasi. Kondisi yang menyedihkan, ketika sesungguhnya kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari hak asasi manusia, yang dijamin dan jelas tercantum dalam UUD 1945.

Namun, faktanya, pada kasus patung itu, pengelola dan pemilik rumah doa ditekan pihak yang mengatasnamakan ormas Islam.

Lalu, di manakah peran aparat? Pihak yang seharusnya berkewajiban memberi jaminan perlindungan setiap warga untuk kebebebasan beragama dan beribadah; malah tunduk pada tekanan ormas Islam tertentu. Dengan menawarkan opsi menutup patung dengan terpal sebagai jalan tengah, dan dengan alasan menjaga kondusivitas.

Aku jadi bertanya-tanya sampai kapan minoritas ditekan, dipaksa mengalah, terus-menerus dikorbankan atas nama “menjaga situasi agar tetap kondusif” yang dituntut mayoritas?

Pertanyannya kemudian, mengapa? Apakah sebegitu takutnya umat Muslim terhadap patung Bunda Maria?

Akhir kata, ketika sebagian umat Islam mencoba mempersulit perizinan rumah ibadah agama lain dengan memakai dalil Quran tertentu, maka aku hendak membantahnya dengan dalil Quran juga.

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-nisa:114)

Demikian keyakinanku, yang kata orang si paling toleran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *