Politik uang merupakan fenomena destruktif yang menggerogoti sistem demokrasi di Indonesia. Bisa dikatakan praktik ini adalah warisan kolonialisme yang bercokol pada paradigma politik warga. Politik uang dianggap sebagai sesuatu yang normal dan terus dilanggengkan. Kerentanan warga dalam menerima politik uang marak terjadi akibat kesenjangan ekonomi yang begitu hebat. Selain itu, faktor pendidikan politik berbasis demokrasi pancasila yang ideal tidak benar-benar menjadi pemahaman yang kuat di kalangan warga.
Wasingatu Zakiyah, Inisiator Desa Anti Politik Uang, memandang bahwa 74.000 desa yang merupakan basis kuat masyarakat tidak memiliki kesempatan yang luas untuk mendukung diri mereka mendalami pendidikan politik. Dengan demikian, ruang-ruang alternatif yang membantu pendidikan politik untuk warga sangat dibutuhkan.
“Warga harus memaksimalkan kedaulatannya sebagai rakyat untuk memperoleh pengetahuan politik. Jangan sampai hanya dengan amplop berisi 100-300 ribu rupiah suara mereka dibeli dan nasib selama lima tahun dianggap murah.” ujar Zakiyah.
Kerentanan kelompok perempuan dalam menerima serangan fajar harus diimbangi dengan pendidikan politik yang mendukung kapasitas mereka dalam menentukan siapa yang bijaksana dan mampu memberikan kepemimpinan memuaskan bagi warga-masyarakat. Inisiatif gerakan Desa Anti Politik Uang adalah satu jalan alternatif menekan aktivitas politik uang yang marak terjadi. Di dalam gerakan inilah, kelompok perempuan bisa mengenal secara kritis calon-calon pemimpin yang berkompetisi di pemilu.
Kelompok perempuan perlu mengenal dan memahami partai politik atau figur politik seperti apa yang memiliki kemampuan komunikasi dan wacana politik yang mampu mengentaskan persoalan-persoalan mendasar bagi kaum perempuan. Setiap tahun, perempuan Indonesia selalu dihadapkan dengan harga sembako yang tidak murah, perampasan tanah atau lahan yang menjadi ruang hidup, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, kekerasan kerja di wilayah domestik, cuti haid/hamil, dan masih banyak lagi persoalan perempuan yang belum tersentuh kebijakan yang membawa perubahan signifikan.
Kelompok perempuan dewasa ini telah mau keluar dari kesempitan diri dan memiliki kedaulatan hak menentukan siapa yang memimpin. Dengan pengetahuan yang bisa diakses di mana-mana dan munculnya kelompok-kelompok perempuan yang memberikan edukasi politik adalah satu jalan bagi perempuan untuk bisa menempa diri dan mengambil posisi sejajar dalam hal pengambilan keputusan.
Dalam ruang publik, termasuk dalam urusan suara politik, perempuan tidak dibeda-bedakan haknya dari kelompok laki-laki. Ketika perempuan berada di tengah-tengah kompromi keputusan politik, dia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri sebagai individu, melainkan berjuang untuk menekan tingginya biaya pendidikan untuk anak-anak mereka, menekan biaya kebutuhan hidup yang terus melonjak, dan menekan kepentingan politik dan ekonomi yang merampas ruang kehidupan mereka.
Ketika menyadari betapa pentingnya posisi dan sinergitas kelompok perempuan dalam menghadapi tahun-tahun politik ini, tentu kelompok perempuan tidak mudah tereksploitasi haknya hanya dengan beberapa lembar rupiah dalam bentuk amplop atau hadiah-hadiah yang bersifat sementara. Kesejatian dalam memilih figur yang bermartabat dan tahu kapasitasnya dalam memimpin adalah sama sejatinya dengan kita memilih menghargai hak pilih yang kita punya.