Oleh Ainun Jamilah – Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang aktif bersuara tentang isu moderasi beragama dan isu perempuan
Meskipun simbol agama sangat lekat pada pakaian yang saya kenakan sebagai perempuan bercadar, nyatanya, saya begitu merindukan sosok pemimpin yang tidak menjadikan simbol agama sebagai ‘pakaiannya’.
Beberapa pekan belakangan ini, jagat maya diramaikan tayangan video azan dari dua stasiun TV swasta yang memperlihatkan salah satu kandidat pilpres tahun depan melakukan adegan mengambil wudhu dan turut serta dalam salat berjama’ah.
Hal ini tentu saja mengundang spekulasi negatif dari masyarakat utamanya netizen, perihal isu politik identitas yang tergambar kuat dalam tayangan video tersebut.
Memilih Kandidat yang (tidak pura-pura) Agamis
Tak dipungkiri, pesta demokrasi yang menjadi ajang para kandidat untuk merayu masyarakat memang sangat dinanti-nanti. Sebab, di situlah masyarakat bisa sejenak merasa ‘disejahterakan’ dengan melimpahnya bantuan sembako, aspirasi mereka seolah bisa didengar langsung oleh para kandidat, tanpa harus teriak mengenakan pengeras suara dan berlelah-lelah demo di bawah terik matahari. Belum lagi, sebaran uang dan tsunami janji manis dari para kandidat.
Namun, ada hal lain yang perlu dipertimbangkan selain aktivitas-aktivitas template para kandidat; dengan blusukan sembari sibuk membangun citra baik di masyarakat. Yaitu, bahaya laten dari politik identitas yang, bukan tidak mungkin, akan dijadikan kendaraan super cepat untuk merampok kepercayaan masyarakat.
Tak dapat disangkal, dengan menggunakan politik identitas, kandidat tidak perlu repot berdebat alot tentang gagasan politik apa yang bisa ditawarkan. Cukup mengambil simpati masyarakat dengan mengenakan simbol agama tertentu (mencitrakan diri sebagai sosok yang agamis), maka dengan mudahnya masyarakat terbujuk memilih tanpa ragu.
Sesungguhnya, alasan ini tak sepenuhnya buruk. Sosok pemimpin yang agamis diasumsikan penting sebagai salah satu persyaratan karena dengan pemahaman-pemahaman agama yang bisa dihidupkan dalam laku sehari-hari, akan mencegah seseorang untuk berlaku tidak adil dan curang terhadap rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya, sosok pemimpin yang agamis meniscayakan keadilan, kejujuran, serta kesejahteraan untuk rakyat.
Namun, fakta sebaliknya, rerata para calon kandidat pemimpin di setiap tingkat pemerintahan berbondong-bondong ‘menyulap’ diri menjadi sangat agamis dengan mengenakan (berpakaian) simbol-simbol agama, lalu seolah-olah terlihat sebagai sosok yang agamis (taat).
Padahal, tak berarti simbol-simbol agama itu mutlak memberi jaminan jika kandidat adalah orang yang benar-benar taat terhadap nilai-nilai agama yang dianutnya.
Jika dengan mengenakan peci, sorban, jilbab, bahkan cadar sebagaimana yang saya kenakan otomatis menyulap orang tersebut menjadi sangat jujur dan menjunjung tinggi keadilan, tentu hal itu adalah kejadian luar biasa.
Faktanya, jarang atau mungkin tak pernah ada yang demikian. Simbol-simbol agama hanya berfungsi sebagai penanda semata bertujuan memperkuat identitas agama apa yang dianut orang tersebut.
Video Azan dan Bahaya Politik Identitas
Kembali menyoroti perihal video azan yang menayangkan salah satu kandidat pilpres. Ketika partai pengusung calon tersebut dimintai keterangan terkait dugaan politik identitas atas tayangnya video tersebut, perwakilan partai dengan yakin mengatakan jika itu hal biasa saja dan tidak terkait dengan apa asumsi masyarakat.
Pertanyaannya kemudian, mengapa video itu baru ditayangkan lagi mendekati masa-masa pemilihan umum? Mengapa video disuguhkan di saluran televisi yang bisa di akses seluruh masyarakat, ketika orang tersebut telah resmi mencalonkan dan dicalonkan sebagai presiden di tahun depan? Ironis bukan, jika hal itu dianggap biasa.
Padahal untuk menjaga kondusif, setiap kita di Indonesia perlu belajar dari peristiwa pada ajang pemilihan pilpres tahun 2019 silam. Ketika itu terjadi polarisasi antar masyarakat hanya karena beda pilihan politik, yang banyak dikaitkan dengan agama.
Sebagaimana wawancara yang dikutip dari laman berita online BBC (2019). “Jelas saya sangat terluka. Setiap orang lahir berbeda. Kalau Allah membiarkan orang-orang yang berbeda dengan kita hidup, berarti Allah mengizinkan mereka hidup. Lalu kenapa kita yang sama-sama ciptaan-Nya, berhak menyatakan dia nggak layak hidup? Siapa Anda untuk menghakimi?”
Komentar Nursyamsiah, ibu dua anak tersebut bukan tanpa alasan. Sebelum pemilihan presiden dimulai hingga pada masa penghitungan suara, warga Jakarta Selatan ini kerap mendengar keluarga maupun teman-temannya menyebut mereka yang memilih calon presiden tertentu itu tidak layak hidup.
Lebih lanjut, Nursyamsiah membagikan kekhawatirannya tentang narasi yang ia takutkan akan dianggap benar bila terus dilanggengkan. Seperti, “kalau pilih capres ini masuk surga“, “pilih capres itu masuk neraka“. Seolah-olah, pilihan capres seseorang akan menentukan surga ataupun neraka yang akan didapatkannya.
Kecemasan semacam ini diangkat kembali Menag Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas baru-baru ini. Beliau mengharapkan masyarakat untuk tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan.
Pernyataan yang disampaikan ketika menghadiri Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat, 3 September 2023 makin memperjelas. Bila agama yang begitu sakral digunakan sebagai kendaraan untuk menjatuhkan lawan politik satu sama lain, maupun ujaran kebencian dengan mengatasnamakan agama terus digunakan; hal itu akan mencederai persatuan dan kesatuan yang Bangsa Indonesia cita-citakan.
Karakter Pemimpin Indonesia Versi Saya
Tayangan video azan itu seharusnya membuat kita belajar untuk tidak mudah termakan dengan tipu daya simbol agama yang kadung menjadi komoditas isu yang laris menjelang pemilu. Kita perlu menyadari juga minimnya literasi politik sebagian besar masyarakat Indonesia tentang penentuan kriteria yang tepat bagi calon yang akan diusungnya menjadi urgensi penting yang perlu diupayakan agar tak mudah terhasut atau terperdaya.
Bagi saya pribadi, karakter pemimpin yang diharapkan itu tak sekadar menganut agama yang sama saja, tak sekadar mengenakan simbol agama tertentu saja, pun tak sekadar menebar janji manis yang rawan dilupakan ketika sudah terpilih nanti.
Yang kerap diulang-ulang dan perlu ditanamkan di dalam pikiran adalah simbol agama tertentu yang dikenakan maupun dicitrakan oleh setiap paslon, tak dapat dijadikan sebagai indikator mutlak sifat dan karakter yang agamis miliknya. Waspadailah mereka yang tiba-tiba menjadi sosok yang agamis.
Adapun nilai-nilai moral lain yang perlu dilihat dari para kandidat yaitu, sikap jujur dan adilnya. Sikap welas-asih yang tulus (tidak palsu) dan merangkul (menjamin hak) semua identitas dan keragaman (kebhinnekaan) yang menjadi ciri khas Indonesia.
Tidak ada lagi kekerasan dan ketidakadilan hukum yang terjadi hanya karena menjadi kelompok yang minor. Misalnya saja, penutupan rumah-rumah ibadah, pelarangan aktivitas beribadah bagi umat minoritas maupun kelompok-kelompok rentan lainnya.
Sejauh mana para kandidat calon presiden memahami persoalan-persoalan bangsa seperti kesenjangaan sosial, kurangnya kesejahteraan tenaga pendidik serta pendidikan yang tidak merata; menjadi poin penting juga untuk diperhatikan.
Pemimpin bangsa juga perlu berwawasan lingkungan, dengan menunjukkan concern terhadap dampak kerusakan lingkungan, termasuk memahami payung hukum akan kasus sengketa tanah warga negara.
Selain itu seorang pemimpin bangsa juga perlu berani dan tegas menegakkan proses hukum akan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk mengupayakan optimalnya pemenuhan hak-hak difabel maupun kaum marjinal lainnya.
Untuk itu, jadikan dua hal ini pedoman guna menghadapi tahun pemilu yang sudah diambang pintu. Yaitu, stop terbuai dengan simbol agama apapun yang coba dikenakan para kandidat dan terus merawat kewarasan agar tidak mudah diadu domba oleh perbedaan pilihan politik yang melulu dibingkai dengan isu agama.
Sebagaimana pernyataan lanjutan Menag Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas dalam kesempatan yang sama bahwa cara untuk melihat pemimpin yang ideal itu adalah dia yang mampu menjadi rahmat bagi semua golongan. Secara sederhananya, dia yang bisa berkarya dan berkiprah, membawa kebermanfaatan bagi orang banyak.