Matinya Demokrasi di Daerah (katanya) Istimewa

Bulan Desember tahun lalu menjadi saksi seorang perempuan Papua masih mengalami diskriminasi di kota pelajar ini.

Photo by Agto Nugroho on Unsplash

Perempuan itu sudah mondar-mandir mencari kos-kosan yang mau menerimanya. Namun, ini kali ketiga dia ditolak. “Maaf, mbak. Sudah penuh kosnya”, kata pemilik kos. Kata-kata itu menjadi sering didengarnya, meskipun tahu bahwa di kos tersebut ada beberapa kamar yang masih kosong, setelah sebelumnya pemilik kos menanyakan daerah asal dan agama.

Dia pun berusaha lagi mengetuk pintu demi pintu beberapa kos-kosan yang ada di Yogyakarta ini. Sebagai pendatang, tempat tinggal menjadi suatu yang amat penting untuk menjalani hidup. Dia tak tahu mengapa sering ditolak oleh pemilik kos. “Mungkin karena banyak mahasiswa pendatang juga, jadi banyak kos yang sudah penuh”, kata Dani mencoba positif thinking.

Dani seorang mahasiswa Kristiani yang berasal dari Raja Ampat, Papua sedang menempuh pendidikan sarjana di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Kulitnya coklat, rambutnya ikal, matanya tajam dan jernih, begitupun juga dengan alisnya yang melengkung tebal, sangat mencirikan kekhasan asal leluhurnya.

Akhirnya ia meminta bantuan kepada salah satu temannya yang berasal dari Papua juga, Tiwi, seorang mahasiswa pascasarjana jurusan Psikologi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

Berbeda dengan Dani, Tiwi adalah seorang muslim, yang juga memakai jilbab. Ayahnya adalah seorang transmigrant yang menikah dengan putri asal Papua. Jadi secara wajah pun ia berbeda dari orang papua pada umumnya.

Tiwi membantu Dani mencarikan kos-kosan di sekitar kampusnya. Maklum, sebagai mahasiswa baru, Dani belum memiliki kendaraan untuk mobilitas. Mereka pun menuju kos dengan ukiran Bali di gerbang depannya itu. Panas menyengat tak menggugurkan niat mereka untuk mencari kos-kosan. Singkat cerita, setelah ibu kos menanyakan keperluan mereka, diperlihatkanlah beberapa kamar kosong sekaligus harganya.

“Mbak bisa kos disini mulai besok”, kata pemilik kos.

“Maaf bu, bukan saya yang ngekos. Ini teman saya yang sedang mencari kamar kos”, kata Tiwi sembari memperkenalkan Dani yang sedari tadi berada disampingnya.

Dani merasa dia telah pasti akan menempati kos-kosan. Namun, beberapa hari menjelang hari Natal, pemilik kosan mengirim chat WhatsApp kepada Dani memberitahukan semua kamar telah penuh. Dani pun mempertanyakannya, yang dijawab pemilik kos, “Maaf kami hanya menerima kos Muslimah.”

“Beberapa temenku suka ditolak pas tahu perawakannya Papua. Enggak tahu kenapa. Padahal awalnya pemilik kos bilang ada kamar kosong. Eh, pas ke kosan, mereka ditolak begitu aja. Biasa beralasan ini kosan khusus Muslimah”, lanjut Dani lagi.

Pertanyaan seputar agama atau darimana asal seseorang terlihat sepele. Namun, hal tersebut ternyata bisa menentukan dapat tidaknya kita untuk tinggal di kosan atau asrama tertentu.

Mengapa demikian? Menjamurnya kosan Syariah, kosan Muslimah membuat orang tidak bisa leluasa untuk tinggal disuatu tempat. Dampaknya mahasiswa yang berasal dari ras, suku, budaya dan agama minoritas menjadi terstigma terhadap orang atau kelompok tertentu, tanpa ada kesempatan untuk saling berdialog. Bagaimana mau berdialog, jika tinggal bersama dalam sebuah tempat tinggal saja tidak diperbolehkan?

Jadi, benar anggapan bahwa perkembangan intoleransi di Yogyakarta meningkat dalam 5 tahun terakhir.

Berdasarkan laporan Tempo, pada tahun 2014-2019 peningkatan kasus intoleransi di Yogyakarta meningkat drastis. Hasil peneliatan LSM Setara memperlihatkan Yogyakarta masuk dalam 10 besar provinsi dengan jumlah kasus tertinggi yang mencederai kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia.

Hal ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri dibalik iklim demokrasi yang gencar digembar-gemborkan seluruh penjuru kampus, tetapi realita di masyarakat, iklim intoleransi masih merebak, bahkan semakin menguat tiap tahunnya. Jadi, apakah demokrasi dan intoleransi tidak bisa sejalan?

“Itu haknya pemilik kos dong!” kata seorang netizen.

“Diskriminasi terhadap apapun tidak dibenarkan, apalagi katanya Indonesia negara demokrasi”, kata yang lainnya.

Kasus Dani adalah contoh nyata pengalaman beribu atau bahkan jutaan pendatang yang mendapatkan diskriminasi. Itu baru masalah tempat tinggal.

Belum lagi isu mayoritas dan minoritas di Yogyakarta. Mayoritas diartikan bisa membungkam minoritas. Bahkan ini sering terjadi secara tidak langsung. Mayoritas bertindak sewenang-wenang, lalu seolah-olah minoritas menerima atas tindakan tersebut. Tentu saja mayoritas disini tak selalu mayoritas agama, tetapi juga suku dan ras tertentu.

Seperti dalam kasus intoleransi di Yogyakarta, para pendatang yang minoritas cenderung menerima perlakuan mayoritas karena relasi kuasa yang timpang. Dampaknya kelompok minoritas tidak memiliki banyak pendapat dan cenderung pada akhirnya terpaksa menerima.

Bahkan ketika kelompok minoritas mencoba bersuara, negara malah tidak memberikan perlindungan tetapi malah menisbikannya.

Pertanyaannya demokrasi itu untuk dan bagi siapa? Apakah hanya untuk mayoritas di Indonesia?

Terakhir saya mengutip pernyataan dari Presiden Indonesia yang sering disebut bapak toleransi, Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur. Beliau berkata, demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan menciptakan tradisi demokrasi yang benar-benar hidup di kalangan rakyat.

Semoga kita bisa lebih merefleksikan kembali hakikat demokrasi yang benar-benar hidup agar tercipta Indonesia yang adil bagi seluruh rakyat, tanpa melihat segregasi dari unsur apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *